A.
Pengantar
- Latar
Belakang Masalah
Kosmologi
atau yang juga dikenal dengan philosophy of nature (filsafat alam
semesta), secara etimologis berasal dari akar kata bahasa Yunani, yakni kosmos
yang berarti “susunan atau keteraturan”; dan logos yang berarti “telaah atau studi” (Siswanto,
2005: 1). Sedangkan secara terminologis, Runes mendefinisikannya sebagai a
branch of philosophy which treats of the
origin and the structure of the universe (Runes, 1971: 60). Yakni cabang
filsafat yang membicarakan asal-usul dan struktur alam semesta.
Louis
Kattsoff mempergunakan istilah kosmologi dalam dalam dua pengertian, yaitu: pertama,
penyelidikan filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam
fisika, ruang, waktu, dan lain sebagainya. Kedua, praaggapan-praanggapan
yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya. Dan untuk membedakannya dengan ontologi, bidang ini disebut juga dengan ’filsafat
fisika’ atau ’filsafat ilmu-ilmu
alam’ (Kattsoff, 2004: 231-232).
A. F. Taylor dalam elements of metaphysic (1924: 3-30), memerikan problem-problem
kosmologi dalam beberapa aspek, yakni: ruang (space), waktu (time), gerak
(motion), jarak bintang (magnitude),
gaya (force), materi (matter), perubahan (change), interaksi
(interaction), bilangan (number),
kualitas (quality), dan kausalitas (causality).
Jadi, dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan istilah
kosmologi secara umum memiliki pengertian sebagai berikut, yakni: pertama, ilmu
tentang alam semesta sebagai sistem yang rasional dan teratur. Kedua,
merupakan cabang ilmu pengetahuan, khususnya bidang astronomi yang berupaya
membuat hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, dan perkembangan alam
fisik berdasarkan pengamatan dan metodologi ilmiah. Ketiga, ilmu yang
memandang bahwa alam semesta sebagai keseluruhan yang integral; dan bagian dari
alam semesta itu berdasarkan pengamatan astronomi, merupakan suatu bagian dari
keseluruhan tersebut. Keempat, secara tradisional kosmologi diposisikan
sebagai cabang metafisika yang menelaah mengenai asal dan susunan alam semesta,
penciptaan dan kekekalannya, vitalisme dan mekanisme, kodrat hukum, ruang,
waktu, serta kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi
dunia ini, dan ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan
diferensiasi-diferensiasi yang mungkin berlaku dalam dunia (Bagus, 2002: 499).
Disiplin keilmuan kosmologi telah mengalami perkembangan pesat,
seiring dengan perjalanan sejarah sebagaimana cabang keilmuan lain. Berawal
dari tradisi pemikiran Yunani kuno, dipelopori oleh filsuf-filsuf alam, sampai
kekinian kita, telah lahir pelbagai corak pemikiran kosmologi yang beragam
sesuai dengan titik-pijak, orientasi,
dan perspektifnya. Ditelaah dari
watak dan karakternya, pemikiran kosmologi dapat diklasifikasi dalam
enam mainstream (arus besar) pemikiran yakni; spekulatif, ilmiah,
kritik, matematis, baru (pasca-Einstein), dan sintesis.
Pertama, kosmologi spekulatif. Pemikiran kosmologi
jenis ini dibangun atas dasar kerangka epistemologi yang menitikberatkan pada
kemampuan kontemplasi yang bersifat spekulatif. Meskipun begitu, pada tahap
pemikiran ini sudah dilakukan pengamatan langsung atau observasi dalam
pengertian yang paling sederhana. Misalnya pandangan Demokritos yang menegaskan
bahwa arkhe alam semesta ialah atom dan ruang kosong; ini jelas
merupakan hasil olah nalar spekulatif murni. Sejarah menuturkan bahwa waktu itu
belum ditemukan alat apa pun yang memungkinkan seseorang dapat mengetahui keberadaan
atom dan ruang kosong.
Kedua, kosmologi ilmiah. kosmologi model ini
bekerja dengan alat dan kerangka atau desain metode yang kerja dan produknya
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ketiga, kosmologi kritik. Model kosmologi yang
lahir sebagai jawaban atas keberatan-keberatan terhadap kosmologi spekulatif. Tokoh yang dikategorikan sebagai
pemikir kosmologi kritik ialah Emmanuel Kant, karena ia memiliki ciri yang unik
dan berbeda dengan model pemikiran kosmologi lain. Ia berusaha mengatasi
kelemahan-kelemahan kosmologi spekulatif dengan metode kritisisme.
Keempat, kosmologi matematis. Merupakan pemikiran
kosmologi yang fondasinya dirancang berdasarkan asumsi epistemologis ilmu-ilmu
kealaman seperti astronomi, fisika, dan matematika.
Kelima, kosmologi baru (pasca Einstein). Mayoritas
ilmuwan mengatakan bahwa sesudah Albert Einstein mewariskan prinsip-prinsip
kosmologi matematis, terjadi debat metodologis yang luar bisa. Dari debat
tersebut justru kosmologi dianggap sebagai ilmu baru yang memberikan sumbangan
cukup signifikan kepada perkembangan ilmu dewasa ini.
Keenam, kosmologi sintesis. Model kosmologi yang
mencoba membuat sintesis-sintesis baru atas dasar hasil penemuan ilmu-ilmu
kealaman dengan mempertimbangkan keterangan-keterangan filsafat (Siswanto,
2005: 12-13).
Perjalanan sejarah pemikiran kosmologi mengalami
dinamisasi menuju kesempurnaan pengetahuan manusia tentang jagat raya. Proses
dinamis ini, sesuai dengan epistemologi problem solving Karl Popper dengan metode falsifikasi, bahwa
sifat kemungkinan salah dari ilmu mendorong manusia selalu belajar untuk maju
(Taryadi, 1989: 32). Selaras dengan pandangan di atas, Stephen Hawking dalam
bukunya A Brief History of Time dan
The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, ia
berusaha memadukan pelbagai teori tentang jagat raya untuk menemukan sebuah
teori kosmologi yang paripurna. Dalam kerangka dan problem inilah, penulis
melakukan studi pemikiran kosmologi Stephen Hawking.
- Rumusan Masalah
Dari latar belakang (background) di atas, dapat
dirumuskan pokok masalah dalam penulisan makalah ini, yakni:
a.
Bagaimana pandangan kosmologi Stephen Hawking?
b.
Bagaimana respons masyarakat terhadap pandangan Stephen
Hawking tersebut?
- Keaslian Penelitian
Dalam telaah penulis, penelitian dalam bidang kosmologi
khususnya pandangan Stephen Hawking tentang jagat raya dalam bentuk skripsi dan
tesis belum banyak dilakukan. Sementara penelitian-penelitian dalam bidang
kosmologi Timur sudah pernah dilakukan. Diantaranya ialah yang dilakukan oleh
Wisnu Minsarwati (2000), yang melakukan penelitian dengan judul ”Makna
Kosmologis dalam Mitos Letusan Gunung Merapi. Selain itu masih banyak
penelitian yang mengangkat tema kosmologi menurut Taoisme, Islam dan lain
sebagainya.
Sedangkan tentang kosmologi ilmiah atau matematis, ialah
penelitian sarjuni (2003), yang berjudul ’konsepsi ruang dan waktu menurut
Albert Einstein’, membahas mengenai ruang dan waktu dalam kerangka teori
relativitas.
Bertolak dari hal di atas, penelitian pemikiran kosmologi
Stephen Hawking mengenai jagat raya belum pernah dilakukan. Sehingga secara
ilmiah, makalah yang penulis susun ini dapat dipertanggungjawabkan
orisinalitasnya dan keabsahannya. Adapun rujukan dan referensi primer makalah ini didasarkan atas tulisan Stephen
Hawking pada tahun 1988 yang berjudul ’A Brief History of Time’ yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul ’Riwayat Sang Kala, dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam, diterbitkan
oleh Pustaka Utama Garfiti Jakarta pada tahun 1994. Juga buku beliau The
Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, yang
dialihbahasakan dengan judul ‘Teori Segala Sesuatu, Asal Usul dan Kepunahan
Alam Semesta, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2004.
- Tujuan Penelitian
Makalah ini memiliki beberapa tujuan yakni;
a.
menggambarkan dan menganalisis perspektif kosmologi Stephen
Hawking.
b.
mendeskripsikan dan menganalisis respon masyarakat
terhadap pandangan Stephen Hawking tersebut.
B.
Sejarah Pemikiran Kosmologi
Empat ribu tahun sebelum masehi, bangsa Babilon terkenal
memiliki keahlian dalam ilmu astronomi
yang membantu mereka memprediksi gerakan-gerakan yang tampak mengenai
bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, serta matahari. Bahkan mereka bisa memprediksi
terjadinya gerhana. Namun, sejarah mencatat bangsa Yunani kunolah yang pertama
kali bisa membuat model kosmologi untuk menafsirkan gerakan-gerakan tersebut.
Pada abad ke-4 SM, mereka memperkenalkan ide bahwa bintang-bintang itu berada
pada suatu permukaan bola yang berotasi di seputar Bumi setiap 24 jam.
Sementara itu planet-planet, matahari, dan bulan bergerak di dalam ’eter’
di antara Bumi dan bintang-bintang.
Aristoteles pada tahun 340 SM, dalam bukunya Mengenai
Langit, mampu mengemukakan dengan baik dua argumen yang meyakinkan orang
bahwa Bumi berbentuk sebuah bola bulat, bukannya piring datar. Pertama,
ia menyadari bahwa gerhana Bulan disebabkan oleh Bumi yang berada antara bulan
dan matahari. Kedua, dari perjalanan yang dilakukan orang Yunani, mereka
tahu bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada
lebih selatan (karena terletak di atas kutub Utara, Bintang Utara itu berada
tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horiszon
bila ia berada di Katulistiwa). Bahkan orang Yunani memiliki argumen ketiga,
bahwa Bumi pastilah bulat. Kalau tidak, mengapa orang melihat terlebih dahulu
layar kapal menyembul di cakrawala, baru kemudian lambungnya?(Hawking, 1994:
2).
Model ini berkembang lebih jauh di abad-abad berikutnya,
yang berpuncak pada sistem Ptolemeus di abad ke-2 M. Gerakan yang sempurna
haruslah membentuk lingkaran-lingkaran. Oleh karena itu, bintang-bintang dan
planet-planet, yang merupakan benda ruang angkasa, mestilah bergerak melingkar.
Namun, untuk menegaskan gerakan yang rumit dari planet-planet, diperkenalkanlah
ide tentang epicycle, yakni
lingkaran pada lingkaran. Model ini kemudian dipungut oleh Gereja Kristen,
karena model ini menyisakan ruang di luar bola bintang-bintang tempat untuk
surga dan neraka.
Nicholas Copernicus, seorang imam Polandia pada abad
ke-16 M, mengembangkan sebuah model pemikiran yang beranggapan bahwa Bumi dan
planet-planetlah yang bergerak melingkar
mengitari Matahari, tetapi data pengamatan pada saat itu memihak pada
sistem Ptolemeus. Penolakan terhadap pandangan Copernicus itu bukan tanpa alasan.
Tycho Bhrahe seorang astronom terkemuka pada abad ke-16 M, menyadari bahwa Bumi
mengitari Matahari, maka posisi bintang-bintang haruslah berbeda kalau diukur
dari posisi yang berbeda-beda dari orbit bumi. Tetapi tanda-tanda pergesaran
posisi itu, yang disebut paralaks, tidak terlihat pada kala itu. Jadi,
hanya ada dua probabilitas: Bumi dalam keadaan diam, atau bintang-bintang
berada pada jarak yang amat jauh sehingga paralaks tidak terindera.
Kala teleskop ditemukan pada abad ke-17 M, dengan bantuan
alat ini ide Ptolemeus runtuh. Lewat perantara alat penglihatan jarak-jauh
tersebut Galileo menemukan bulan-bulan yang bergerak mengitari Jupiter. Lantas,
muncul pertanyaan, jika bulan-bulan bisa mengitari planet, mengapa
planet-planet tidak bisa mengitari Matahari?
Pada saat yang sama Kepler, yang merupakan asisten Tycho
Brahe, menemukan ide kunci untuk membangun
model heliosentris: bahwa planet-planet bergerak mengitari
Matahari pada lintasan elips, bukan lingkaran sempurna. Kelak Newton
menjelaskan bahwa gerakan eliptik bisa dipahami berdasarkan hukum
grafvitasinya, yakni gaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Namun,
kemiskinan data observasi tentang paralaks tersebut mewajibkan bahwa
bintang-bintang berada pada jarak yang teramat jauh dari Matahari. Jagat raya
menjadi seperti lautan yang sangat luas berisi bintang-bintang. Dengan bantuan
teleskop, Galileo menemukan 7. 000 bintang baru yang tak terlihat secara kasat
mata.
Di abad ke-19 M, seorang ahli astronomi dan matematika
Bassel akhirnya mampu mengukur Jarak ke bintang-bintang paralaks.
Bintang terdekat (selain Matahari) terukur pada jarak sekitar 25 juta mil
(sebagai bandingan, matahari berjarak 93 juta mil dari Bumi). Mayoritas dari
bintang yang mampu kita lihat termasuk dalam galaksi Bima Sakti—pita terang
yang tersusun atas bintang-bintang yang merentang di langit pada malam hari. Kemudian
pada 1920, seorang ahli astronomi Amerika, Hubble, menunjukkan bahwa selain
Bima Sakti masih banyak galaksi-galaksi yang berukuran serupa. Hubble juga
membuat penemuan yang mengagumkan bahwa galaksi-galaksi tersebut bergerak
menjauhi kita dengan kecepatan yang sebanding dengan jaraknya terhadap kita.
Hal ini bisa dimaklumi sebagai akibat alami dari teori relativitas umum yang
ditemukan kemudian pada tahun 1915 oleh Einstein; bahwa alam semesta memuai. Benda-benda
memiliki kecenderungan berkumpul dan menyatu sebagai akibat gaya
(tarik-menarik) gravitasi sehingga mustahil alam semesta statis. Tetapi,
Einstein memaklumi bahwa dia bisa menambahkan konstanta ke dalam rumusan
matematikanya untuk menyeimbangi gaya tarik gravitasi. Jika ini benar, maka
galaksi-galaksi akan tetap dalam keadaan terpisah. Setelah diketahui bahwa alam
semesta itu memuai, Einstein menyatakan bahwa upayanya untuk menambahkan
konstanta kosmologi merupakan kesalahan besar.
Seorang ahli matematika Rusia pada tahun 1917, yakni
Friedmann menyadari bahwa persamaan matematika Einstein dapat menjelaskan pemuaian
alam semesta. Rumusan ini berimbas bahwa jagat raya pernah lahir suatu saat,
sekitar 10 ribu juta tahun yang lalu dan galaksi-galaksi masih bergerak menjauh
dari kita sejak kala itu. Problemanya ialah, sesungguhnya alam semesta itu
sendiri, diciptakan hanya pada sesaat saja. Ahli Astronomi Inggris fred Hoyle,
menjuluki peristiwa penciptaan itu dengan ’Big Bang’ (Dentuman Besar).
Terdapat model pemikiran alam semesta tandingan diajukan
oleh Bondi, Gold, dan Hoyle. Teori tersebut disebut ’Teori Keadaan Ajeq
Steady’, berusaha menjelaskan
pemuaian jagat raya. Teori ini memerlukan penciptaan materi secara
terus-menerus untuk mengasikan galaksi-galaksi baru ketika alam semesta memuai.
Hal ini bisa memberikan jaminan bahwa alam bisa memuai, tetapi tetap tidak
berubah terhadap waktu. Selama bertahun-tahun, persoalan apakah alam semesta
kekal dan tidak berubah, atau hanya ada dalam kurun waktu yang terbatas hayalah
dipandang sebagai isu akademis belaka. Tetapi, pukulan terhadap model keadaan
lunak terjadi pada tahun 1965 ketikan Penzias dan Wilson menemukan radiasi
kosmik bergelombang mikro.
Sejak tahun 1970, mayoritas ahli astronomi menerima ’Big
Bang’ dan memulai pertanyaan-pertayaan khusus yang juga radikal. Bagaimana
galaksi-galaksi dan kluster galaksi-galaksi yang terindera sekarang bisa
terbentuk dari permuaian primordial? Terbuat dari apa sebagian materi di jagat
raya ini? Bagaimana kita tahu bahwa tidak ada sejeneis materi gelap di luar
sana yang tidak bersinar seperti bintang-bintang? Teori relativitas umum
memberi tahu kita bahwa materi melengkungkan kurva ruang-waktu, lantas apa yang
membentuk alam semesta?
Manusia baru mulai menemukan jawaban sebagian pertanyaan
tersebut. Radiasi kosmik memainkan peran penting dalam memberikan gambaran
tentang jagat raya sekitar seratus ribu tahun setelah ’Big Bang’.
Pengamatan terhadap radiasi kosmik ini dilakukan lebih jauh oleh NASA. Pada
tahun 1992, stelit NASA yang khusus dirancang untuk mendeteksi radiasi kosmik.
Ternyata ada fluktuasi temperatur sebersar 1/100 ribu dalam radiasi ini. Ini
memberi petunjuk tentang benih-benih ’sesuatu’ yang darinya galaksi tercipta.
Sejak awal 1980-an terjadi lonjakan perhatian terhadap peristiwa fisika di awal
kelahiran alam semesta. Tekhnologi baru dan percobaan satelit, seperti teleskop
ruang angkasa Hubble, telah mengantarkan manusia pada gambaran dan sketsa alam
semesta yang lebih komperhensif. Dan model baru pun berkembang dengan bertumpu
pada ide-ide terakhir di bidang relativitas dan fisika partikel (Mizan &
CIMM, 2000: 47-49).
C.
Pandangan Kosmologi Stephen Hawking: Mencari Sintesa
antara Mekanika Kuantum dan Teori Relativitas Umum
Stephen Hawking lahir 8 Januari 1942 di Oxfort Inggris,
dewasa ini menjadi Guru Besar Matematika di Universitas Cambridge University.
Beliau mengindap penyakit neoron motorik atau amyotrophic
lateral sclerosis (ALS), yang memaksanya bergerak dengan bantuan
kursi roda (www. scienceworld.wolfram.com)
Menurut Hawking persoalan kosmologi merupakan sebuah
persoalan yang berkaitan erat dengan hasrat manusia untuk memberi makna
terhadap dunia yang tampak padanya; adapun persoalan sentralnya ialah, antara
lain: apakah kodrat jagat raya? Di mana tempat kita di dalamya? Dari mana
tempat itu dan dari mana kita berasal? Mengapa demikian?
Menjawab pertayaan di atas, manusia pra-ilmiah mengambil
suatu ”gambar dunia”. Salah satunya, mengandaikan tumpukan kura-kura raksasa
dan yang paling atas menggendong Bumi
yang datar dan mendatar. Yang kedua, teori adidawai (superstring).
Bagi Hawking, kedua teori tersebut gagal menjadi teori keilmuan yang baik
karena berbanding terbalik dengan pengalaman manusia.
Hawking Mengakui
bahwa keteraturan dan hukum yang jelas tentang alam semesta pertama-tama atas
jasa astronomi. Dalam tiga millenium terakhir, telah banyak ditemukan teori,
karenanya Laplace pada awal abad ke-19 mempostulatkan determinisme ilmiah;
bahwa akan ditemukan seperangkat hukum yang menetapkan evolusi jagat raya
dengan tepat jika konfigurasinya pada suatu waktu diketahui. Namun harapan
tersebut, tidak dapat dilaksanakan. Asas ketidak pastian mekanika kuantum
menyiratkan bawah pasangan kuantitas tertentu, seperti misalnya posisi dan
kecepatan sebuah partikel, keduanya tidak bisa diramalkan dengan tepat besarnya
sekaligus.
Mekanika Kuantum
menjawab persoalan dengan sebuah teori bahwa partikel tidak mempunyai posisi
dan kecepatan terumus dengan baik, melainkan dinyatakan oleh suatu gelombang.
Teori kuantum bersifat deterministik dalam arti teori ini menghasilkan hukum
untuk evolusi gelombang dengan bertambahnya waktu. Jadi jika seorang mengetahui
gelombang itu pada satu waktu, ia akan dapat menghitung gelombang itu pada
setiap waktunya. Unsur acak yang tidak teramalkan hanya muncul ketika kita
mencoba menafsirkan gelombang itu dengan kecepatan partikel. Tetapi itu mungkin
kesalah kita; mungkin tidak ada posisi dan kecepatan partikel, tetapi hanya
gelombang. Hanya kita saja mencoba mencocokkan gelombang dengan dengan gagasan
posisi dan kecepatan yang dibayangkan sebelumnya. Ketidaksepadanan yang
dihasilkan itu merupakan sebab mengapa tampaknya gejala itu tidak dapat
diramalkan.
Kenyataanya umat manusia telah merumuskan ulang tugas
sains dalam menemukan teori-teori yang memungkinkan mereka meramalkan peristiwa
sampai batas yang ditentukan oleh asas ketidakpastian. Namun menurut Hawking, tetap
saja muncul pertanyaan, yaitu: bagaimana atau mengapa dipilih hukum-hukum dan
keadaan awal jagat raya yang itu?
Stephen Hawking dalam A Brief History of Time, menonjolkan hukum-hukum yang mengatur
garavitasi, karena garvitasilah yang membentuk struktur skala besar jagat raya.
Hukum Gravitasi tidak cocok dengan pandangan bahwa jagat raya tidak berubah
dengan majunya waktu: karena gravitasi selalu bersifat tarik-menarik maka
pastilah jagat raya itu memuai atau
mengerut. Dan baru akhir-akhir ini saja pandangan bahwa jagat raya statis
dicampakkan dan ditinggalkan orang. Menurut teori relativitas umum, ruang
dan waktu berawal pada singularitas ’Big Bang’ dan akan berakhir pada
singularitas kerkahan besar (jika keseluruhan jagat raya runtuh kembali) atau pada
singularitas di dalam lubang hitam. Setiap materi yang jatuh ke dalam lubang
besar akan musnah dan hanya efek gravitasi massanya yang akan dirasakan oleh
orang luar (Hawking, 1994: 184-85).
Teori relativitas umum dan mekanika
kuantum merupakan dua teori yang
merupakan prestasi intelektual agung di paro pertama abad ke-20. teori
relativitas umum menjelaskan gaya
gravitasi dan struktur skala besar jagat raya, yaitu struktur pada skala
beberapa kilometer sampai jutaan kilometer (1 sampai 24 nol di belakangnya),
ukuran jagat raya sejauh manusia dapat mengamati. Di pihak lain, mekanika
kuantum menjelaskan gejala pada
skala yang luar biasa kecil, misalnya sepersejuta dari sepersejuta sentimeter. Namun
sayang, kedua teori ini saling tidak konsisten—dan tidak mungkin keduanya
benar. Dan orientasi buku ’A Brief History of Time, adalah sebuah
pencarian sebuah teori baru yang merangkum kedua teori tersebut (Ibid: 13-14).
Menurut asumsi Hawking, bila kita bisa mengabungkan mekaniaka
kuantum dan teori relativitas
umum, akan ada suatu kemungkinan lain yang tidak pernah muncul sebelumnya:
bahwa ruang dan waktu bersama-sama mungkin membentuk suatu ruang empat dimensi
tanpa singularitas dan tanpa tapal batas. Gagasan ini dapat menjelaskan pelbagai
wajah jagat raya yang ada dalam pengamatan. Dan jika jagat raya sama sekali
mandiri, tanpa singularitas maupun tapal batas, dan terwujud suatu teori
terpadu, maka akan mempunyai implikasi penting terhadap peranan Tuhan sebagai
pencipta.
Einstein pernah melontarkan pertayaan: ”seberapa besar
pilihan yang dimiliki Tuhan dalam rancang bangun jagat raya?” bagi Hawking jika
pandangan tanpa tapal batas itu benar, maka Tuhan tidak memiliki kebebasan sama
sekali dalam memilih kondisi (syarat) awal jagat raya. Tetapi tentu saja Dia
mempunyai kebebasan untuk memilih hukum-hukum yang harus dipatuhi jagat raya.
Hawking berharap jika memang akhirnya manusia menemukan
suatu teori yang lengkap, maka selayaknya dapat dipahami oleh khalayak ramai,
tidak hanya dipahami oleh segelintir ilmuwan saja. Selanjutnya, umat manusia
akan mampu mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagat raya
ini ada. Jika manusia mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, itulah
kemenangan puncak pikiran manusia—karena itu kemudian kita akan tahu pikiran
Tuhan (Ibid: 185-186).
D.
Respons
terhadap Pemikiran Kosmologi Stephen Hawking dalam ‘A Brief History of Time’
Di
antara yang komunitas yang menolak dan mengkritik pandangan kosmologi Hawking
dalam hubungannya Tuhan sebagai pencipta, misalnya ialah H. Mustamin Dg.
Matutu, ia berpendapat bahwa argumen Hawking dalam A Brief of History of Time, yakni bahwa
waktu itu sebelum hadirnya kosmos tidak ada atau : 0. Sang kala baru hadir bersamaan dengan (proses) Kehadiran kosmos. Mustamin
menambahkan bahwa logika Hawking tentang ‘Big Bang’ yang menjadi tonggak awal keberadaan alam
semesta merupakan fiksi dan khayalan. Faham
serba tiada atau serba “0” tersebut meliputi pula ketiadaan hukum-hukum fisika
atau hukum-hukum sains—seperti antara lain Vt = S atau S = Vt - yang berlaku
(atau dalam istilah Stephen Hawking--"semua hukum-hukum fisika
runtuh"tidak atau belum berlaku).
Mustamin
menambahkan pendapat Hawking tersebut mengundang timbulnya pertanyaan antara
lain:
1.
Eksistensi (benda) apa gerangan yang mempunyai massa
jenis atau kerapatan massa yang tak terhingga (~) sehingga mampu meledak dengan
dahsyat dalam bentuk "Big Bang" pada - 0 - waktu (t) dan - 0 - ruang
(S)?
2.
Di bawah hukum apakah proses ’Big Bang’ itu
terjadi kalau pada
kejadian itu belum ada atau belum berlaku hukum-hukum sains antara lain belum berlakunya hukum Vt = S atau S = Vt ?. Dan karena P (lambang kerapatan massa atau massa jenis) dalam fisika, kerapatan massa pun yang sama dengan M/V itu juga termasuk—tentulah menurut Stephen Hawking cs - belum berlaku pula. "Pada saat Big Bang", katanya "semua hukum-hukum sains runtuh". Apakah mungkin ada yang runtuh dari serba tiada atau serba ”0” (nol) ?. Jelas dari pernyataan demikian adanya kontradiksi , yakni adanya keruntuhan dari ketiadaan yang runtuh.
kejadian itu belum ada atau belum berlaku hukum-hukum sains antara lain belum berlakunya hukum Vt = S atau S = Vt ?. Dan karena P (lambang kerapatan massa atau massa jenis) dalam fisika, kerapatan massa pun yang sama dengan M/V itu juga termasuk—tentulah menurut Stephen Hawking cs - belum berlaku pula. "Pada saat Big Bang", katanya "semua hukum-hukum sains runtuh". Apakah mungkin ada yang runtuh dari serba tiada atau serba ”0” (nol) ?. Jelas dari pernyataan demikian adanya kontradiksi , yakni adanya keruntuhan dari ketiadaan yang runtuh.
3.
Apakah pengertian kerapatan massa atau massa jenis/P itu
tidak
termasuk pengertian hukum sains/hukum fisika?
termasuk pengertian hukum sains/hukum fisika?
4.
Apakah pengertian "panas" (suhu) betapapun
tingginya atau rendahnya
tidak ada hubungannya dengan hukum-hukum sains?.
tidak ada hubungannya dengan hukum-hukum sains?.
5.
Apakah "pemuaian" itu dapat bermul dari
”tiada/0” benda yang memuai?
Bagi
Mustamin, nampaknya kelima pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, sudah cukup
membuktikan betapa bahwa alam semesta
bermula dari serba ”0” atau serba tiada itu, hanyalah suatu khayalan besar (big
fiction). Menurutnya paradigma Hawking berimbas pada tiadanya ”penciptaan”,
yang berarti tidak ada ”pencipta”. Karenanya Hawking ditahbiskan sebagai
seorang Ateis. (www.hamline.edu.)
Tidak
adil kiranya jika penulis tidak ketengah pendapat yang mengamini dan memuji
kontribusi pemikiran Hawking. Dr.
"Fritz" Schaefer memandang buku A Brief History of Time merupakan buku sejarah sains terlaris, terjual
10 ribu eksemplar. Kemudian berkaitan dengan kritik dan hujatan kepada Hawaking
sebagai Ateis, Dr. Schaefer memandang kurang beralasan karena kalau tinjau
secara lokus dan tempus, Hawking hidup dengan orang-rang yang
religius, meski pun pada umur 13 tahun
memuja Bertrand Russell yang nota bene seorang filsuf ateis.
Misalnya, Jane Hawking istri Stephen Hawking yang selalu menemani suaminya yang
mengindap ALS, di tahun 1986 ia berkata: "Without my faith in God, I
wouldn't have been able to live in this situation;"… "I would not
have been able to marry Stephen in the first place because I wouldn't have had
the optimism to carry me through and I wouldn't have been able to carry on with
it." Dan Stephen Hawking berkata: "what
really made a difference was that I got engaged to a woman named Jane Wilde.
This gave me something to live for."
Dr. Schaefer menambahkan bahwa alas an
buku tersebut laris terjual, karena menelaah persoalan makna dan tujuan yang menjadi
concern seluruh lapisan masyarakat.
Juga, buku tersebut sejalan dengan iman Kristiani dan
disajikan bahasa luwes, ramah, dan tidak tendensius. Buku tersebut, merupakan
bacaan penting yang perlu dihargai (http://leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html).
Akhirnya, semua kembali pada kita yang melakukan
penafsiran dan pembacaan terhadap pemikiran kosmologi Stephen Hawking dalam A
Brief History of Time, karena bagaimanapun setiap penyimpulan kita tak
pernah terlepas dari pandangan dunia (world view) positif atau pun
negatif.
E.
Penutup
Usaha Stephen Hawking untuk menemukan teori gabungan
antara teori relativitas umum dan
mekanika kuantum sebagai
sebuah langkah mencari jawaban dan menyingkap misteri alam semesta, perlu
dihargai dengan penuh ketulusan tanpa sikap prejudice. Kemudian, seputar
kontroversi penafsiran terhadap pandangan Hawking, selayaknya diletakkan pada
tataran discourse, demi menambah kearifan kita sebagai manusia yang
gelisah mencari jawaban atas misteri jagat raya.
Daftar
Pustaka
Bagus,Lorens. 2002. Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta .
Biorgapi Stephen hawking, http://scienceworld.wolfram.com/biography/Hawking.html
Hawking, Stephen. 1994. Riwayat Sang Kala, Dari Dentuman Besar Hingga
Lubang Hitam, terjem. oleh. Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka, Pustkaka Grafiti,
Jakarta.
Henry F.,Schaefer Stephen Hawking, The Big Bang, and God
dalam http://www.leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html
Kattsoff,
Louis. 2004. Pengantar Filsafat, terjem. oleh Soejono Soemargono, Tiara
Wacana, Yogyakarta .
”Lensernya Rezim Newton”, Majalah Seri
Penerbitan Sains, Teknologi, dan Masyarakat, Bandung, Muharram 1421/April
2000.
Matutu, H.
Mustamin Dg. Kosmologi Ala Stephen Hawking c.s. Mengandung Fiksi,Kontradiksi,danInkonsistensihttp://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0032.html
Runes,
Dagobert D. (ed.), 1971. Dictionary
of Philosophy, Littlefield Adam & CO, New Jersey .
Siswanto, Joko .Orientasi Kosmologi, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Taryadi, Alvons. 1989.
Epitemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta .