Kamis, 27 Juni 2013

KOSMOLOGI STEPHEN HAWKING: ASAL MULA ALAM SEMESTA


A.      Pengantar
  1. Latar Belakang Masalah
Kosmologi atau yang juga dikenal dengan philosophy of nature (filsafat alam semesta), secara etimologis berasal dari akar kata bahasa Yunani, yakni kosmos yang berarti “susunan atau keteraturan”; dan logos  yang berarti “telaah atau studi” (Siswanto, 2005: 1). Sedangkan secara terminologis, Runes mendefinisikannya sebagai a branch of philosophy  which treats of the origin and the structure of the universe (Runes, 1971: 60). Yakni cabang filsafat yang membicarakan asal-usul dan struktur alam semesta.
Louis Kattsoff mempergunakan istilah kosmologi dalam dalam dua pengertian, yaitu: pertama, penyelidikan filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, ruang, waktu, dan lain sebagainya. Kedua, praaggapan-praanggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya. Dan untuk membedakannya dengan ontologi, bidang ini disebut juga dengan ’filsafat fisika’  atau ’filsafat ilmu-ilmu alam’ (Kattsoff, 2004: 231-232).  
A. F. Taylor dalam elements of metaphysic  (1924: 3-30), memerikan problem-problem kosmologi dalam beberapa aspek, yakni: ruang (space), waktu (time), gerak (motion),  jarak bintang (magnitude), gaya (force), materi (matter), perubahan (change), interaksi (interaction),  bilangan (number), kualitas (quality), dan kausalitas (causality).
Jadi, dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan istilah kosmologi secara umum memiliki pengertian sebagai berikut, yakni: pertama, ilmu tentang alam semesta sebagai sistem yang rasional dan teratur. Kedua, merupakan cabang ilmu pengetahuan, khususnya bidang astronomi yang berupaya membuat hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, dan perkembangan alam fisik berdasarkan pengamatan dan metodologi ilmiah. Ketiga, ilmu yang memandang bahwa alam semesta sebagai keseluruhan yang integral; dan bagian dari alam semesta itu berdasarkan pengamatan astronomi, merupakan suatu bagian dari keseluruhan tersebut. Keempat, secara tradisional kosmologi diposisikan sebagai cabang metafisika yang menelaah mengenai asal dan susunan alam semesta, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme dan mekanisme, kodrat hukum, ruang, waktu, serta kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, dan ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan diferensiasi-diferensiasi yang mungkin berlaku dalam dunia (Bagus, 2002: 499).
Disiplin keilmuan kosmologi telah mengalami perkembangan pesat, seiring dengan perjalanan sejarah sebagaimana cabang keilmuan lain. Berawal dari tradisi pemikiran Yunani kuno, dipelopori oleh filsuf-filsuf alam, sampai kekinian kita, telah lahir pelbagai corak pemikiran kosmologi yang beragam sesuai dengan titik-pijak, orientasi,  dan perspektifnya. Ditelaah dari  watak dan karakternya, pemikiran kosmologi dapat diklasifikasi dalam enam mainstream (arus besar) pemikiran yakni; spekulatif, ilmiah, kritik, matematis, baru (pasca-Einstein), dan sintesis.
Pertama, kosmologi spekulatif. Pemikiran kosmologi jenis ini dibangun atas dasar kerangka epistemologi yang menitikberatkan pada kemampuan kontemplasi yang bersifat spekulatif. Meskipun begitu, pada tahap pemikiran ini sudah dilakukan pengamatan langsung atau observasi dalam pengertian yang paling sederhana. Misalnya pandangan Demokritos yang menegaskan bahwa arkhe alam semesta ialah atom dan ruang kosong; ini jelas merupakan hasil olah nalar spekulatif murni. Sejarah menuturkan bahwa waktu itu belum ditemukan alat apa pun yang memungkinkan seseorang dapat mengetahui keberadaan atom dan ruang kosong.
Kedua, kosmologi ilmiah. kosmologi model ini bekerja dengan alat dan kerangka atau desain metode yang kerja dan produknya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ketiga, kosmologi kritik. Model kosmologi yang lahir sebagai jawaban atas keberatan-keberatan terhadap kosmologi  spekulatif. Tokoh yang dikategorikan sebagai pemikir kosmologi kritik ialah Emmanuel Kant, karena ia memiliki ciri yang unik dan berbeda dengan model pemikiran kosmologi lain. Ia berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan kosmologi spekulatif dengan metode kritisisme.
Keempat, kosmologi matematis. Merupakan pemikiran kosmologi yang fondasinya dirancang berdasarkan asumsi epistemologis ilmu-ilmu kealaman seperti astronomi, fisika, dan matematika.
Kelima, kosmologi baru (pasca Einstein). Mayoritas ilmuwan mengatakan bahwa sesudah Albert Einstein mewariskan prinsip-prinsip kosmologi matematis, terjadi debat metodologis yang luar bisa. Dari debat tersebut justru kosmologi dianggap sebagai ilmu baru yang memberikan sumbangan cukup signifikan kepada perkembangan ilmu dewasa ini.
Keenam, kosmologi sintesis. Model kosmologi yang mencoba membuat sintesis-sintesis baru atas dasar hasil penemuan ilmu-ilmu kealaman dengan mempertimbangkan keterangan-keterangan filsafat (Siswanto, 2005: 12-13).
Perjalanan sejarah pemikiran kosmologi mengalami dinamisasi menuju kesempurnaan pengetahuan manusia tentang jagat raya. Proses dinamis ini, sesuai dengan epistemologi problem solving  Karl Popper dengan metode falsifikasi, bahwa sifat kemungkinan salah dari ilmu mendorong manusia selalu belajar untuk maju (Taryadi, 1989: 32). Selaras dengan pandangan di atas, Stephen Hawking dalam bukunya A Brief History of Time  dan The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, ia berusaha memadukan pelbagai teori tentang jagat raya untuk menemukan sebuah teori kosmologi yang paripurna. Dalam kerangka dan problem inilah, penulis melakukan studi pemikiran kosmologi Stephen Hawking. 

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang (background) di atas, dapat dirumuskan pokok masalah dalam penulisan makalah ini, yakni:
a.          Bagaimana pandangan kosmologi Stephen Hawking?
b.         Bagaimana respons masyarakat terhadap pandangan Stephen Hawking tersebut?

  1. Keaslian Penelitian
Dalam telaah penulis, penelitian dalam bidang kosmologi khususnya pandangan Stephen Hawking tentang jagat raya dalam bentuk skripsi dan tesis belum banyak dilakukan. Sementara penelitian-penelitian dalam bidang kosmologi Timur sudah pernah dilakukan. Diantaranya ialah yang dilakukan oleh Wisnu Minsarwati (2000), yang melakukan penelitian dengan judul ”Makna Kosmologis dalam Mitos Letusan Gunung Merapi. Selain itu masih banyak penelitian yang mengangkat tema kosmologi menurut Taoisme, Islam dan lain sebagainya.
Sedangkan tentang kosmologi ilmiah atau matematis, ialah penelitian sarjuni (2003), yang berjudul ’konsepsi ruang dan waktu menurut Albert Einstein’, membahas mengenai ruang dan waktu dalam kerangka teori relativitas.
Bertolak dari hal di atas, penelitian pemikiran kosmologi Stephen Hawking mengenai jagat raya belum pernah dilakukan. Sehingga secara ilmiah, makalah yang penulis susun ini dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya dan keabsahannya. Adapun rujukan dan referensi  primer  makalah ini didasarkan atas tulisan Stephen Hawking pada tahun 1988 yang berjudul ’A Brief History of Time’  yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul ’Riwayat Sang Kala, dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam, diterbitkan oleh Pustaka Utama Garfiti Jakarta pada tahun 1994. Juga buku beliau The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, yang dialihbahasakan dengan judul ‘Teori Segala Sesuatu, Asal Usul dan Kepunahan Alam Semesta, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2004.

  1. Tujuan Penelitian
Makalah ini memiliki beberapa tujuan yakni;
a.          menggambarkan dan menganalisis perspektif kosmologi Stephen Hawking.
b.         mendeskripsikan dan menganalisis respon masyarakat terhadap pandangan Stephen Hawking tersebut.   

B.      Sejarah Pemikiran Kosmologi
Empat ribu tahun sebelum masehi, bangsa Babilon terkenal memiliki keahlian dalam ilmu astronomi  yang membantu mereka memprediksi gerakan-gerakan yang tampak mengenai bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, serta matahari. Bahkan mereka bisa memprediksi terjadinya gerhana. Namun, sejarah mencatat bangsa Yunani kunolah yang pertama kali bisa membuat model kosmologi untuk menafsirkan gerakan-gerakan tersebut. Pada abad ke-4 SM, mereka memperkenalkan ide bahwa bintang-bintang itu berada pada suatu permukaan bola yang berotasi di seputar Bumi setiap 24 jam. Sementara itu planet-planet, matahari, dan bulan bergerak di dalam ’eter’ di antara Bumi dan bintang-bintang.
Aristoteles pada tahun 340 SM, dalam bukunya Mengenai Langit, mampu mengemukakan dengan baik dua argumen yang meyakinkan orang bahwa Bumi berbentuk sebuah bola bulat, bukannya piring datar. Pertama, ia menyadari bahwa gerhana Bulan disebabkan oleh Bumi yang berada antara bulan dan matahari. Kedua, dari perjalanan yang dilakukan orang Yunani, mereka tahu bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada lebih selatan (karena terletak di atas kutub Utara, Bintang Utara itu berada tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horiszon bila ia berada di Katulistiwa). Bahkan orang Yunani memiliki argumen ketiga, bahwa Bumi pastilah bulat. Kalau tidak, mengapa orang melihat terlebih dahulu layar kapal menyembul di cakrawala, baru kemudian lambungnya?(Hawking, 1994: 2).
Model ini berkembang lebih jauh di abad-abad berikutnya, yang berpuncak pada sistem Ptolemeus di abad ke-2 M. Gerakan yang sempurna haruslah membentuk lingkaran-lingkaran. Oleh karena itu, bintang-bintang dan planet-planet, yang merupakan benda ruang angkasa, mestilah bergerak melingkar. Namun, untuk menegaskan gerakan yang rumit dari planet-planet, diperkenalkanlah ide tentang  epicycle, yakni lingkaran pada lingkaran. Model ini kemudian dipungut oleh Gereja Kristen, karena model ini menyisakan ruang di luar bola bintang-bintang tempat untuk surga dan neraka.
Nicholas Copernicus, seorang imam Polandia pada abad ke-16 M, mengembangkan sebuah model pemikiran yang beranggapan bahwa Bumi dan planet-planetlah yang bergerak melingkar  mengitari Matahari, tetapi data pengamatan pada saat itu memihak pada sistem Ptolemeus. Penolakan terhadap pandangan Copernicus itu bukan tanpa alasan. Tycho Bhrahe seorang astronom terkemuka pada abad ke-16 M, menyadari bahwa Bumi mengitari Matahari, maka posisi bintang-bintang haruslah berbeda kalau diukur dari posisi yang berbeda-beda dari orbit bumi. Tetapi tanda-tanda pergesaran posisi itu, yang disebut paralaks, tidak terlihat pada kala itu. Jadi, hanya ada dua probabilitas: Bumi dalam keadaan diam, atau bintang-bintang berada pada jarak yang amat jauh sehingga paralaks  tidak terindera.
Kala teleskop ditemukan pada abad ke-17 M, dengan bantuan alat ini ide Ptolemeus runtuh. Lewat perantara alat penglihatan jarak-jauh tersebut Galileo menemukan bulan-bulan yang bergerak mengitari Jupiter. Lantas, muncul pertanyaan, jika bulan-bulan bisa mengitari planet, mengapa planet-planet tidak bisa mengitari Matahari?
Pada saat yang sama Kepler, yang merupakan asisten Tycho Brahe, menemukan ide kunci untuk membangun  model heliosentris: bahwa planet-planet bergerak mengitari Matahari pada lintasan elips, bukan lingkaran sempurna. Kelak Newton menjelaskan bahwa gerakan eliptik bisa dipahami berdasarkan hukum grafvitasinya, yakni gaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Namun, kemiskinan data observasi tentang paralaks tersebut mewajibkan bahwa bintang-bintang berada pada jarak yang teramat jauh dari Matahari. Jagat raya menjadi seperti lautan yang sangat luas berisi bintang-bintang. Dengan bantuan teleskop, Galileo menemukan 7. 000  bintang baru yang tak terlihat secara kasat mata.
Di abad ke-19 M, seorang ahli astronomi dan matematika Bassel akhirnya mampu mengukur Jarak ke bintang-bintang paralaks. Bintang terdekat (selain Matahari) terukur pada jarak sekitar 25 juta mil (sebagai bandingan, matahari berjarak 93 juta mil dari Bumi). Mayoritas dari bintang yang mampu kita lihat termasuk dalam galaksi Bima Sakti—pita terang yang tersusun atas bintang-bintang yang merentang di langit pada malam hari. Kemudian pada 1920, seorang ahli astronomi Amerika, Hubble, menunjukkan bahwa selain Bima Sakti masih banyak galaksi-galaksi yang berukuran serupa. Hubble juga membuat penemuan yang mengagumkan bahwa galaksi-galaksi tersebut bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang sebanding dengan jaraknya terhadap kita. Hal ini bisa dimaklumi sebagai akibat alami dari teori relativitas umum yang ditemukan kemudian pada tahun 1915 oleh Einstein; bahwa alam semesta memuai. Benda-benda memiliki kecenderungan berkumpul dan menyatu sebagai akibat gaya (tarik-menarik) gravitasi sehingga mustahil alam semesta statis. Tetapi, Einstein memaklumi bahwa dia bisa menambahkan konstanta ke dalam rumusan matematikanya untuk menyeimbangi gaya tarik gravitasi. Jika ini benar, maka galaksi-galaksi akan tetap dalam keadaan terpisah. Setelah diketahui bahwa alam semesta itu memuai, Einstein menyatakan bahwa upayanya untuk menambahkan konstanta kosmologi merupakan kesalahan besar.
Seorang ahli matematika Rusia pada tahun 1917, yakni Friedmann menyadari bahwa persamaan matematika Einstein dapat menjelaskan pemuaian alam semesta. Rumusan ini berimbas bahwa jagat raya pernah lahir suatu saat, sekitar 10 ribu juta tahun yang lalu dan galaksi-galaksi masih bergerak menjauh dari kita sejak kala itu. Problemanya ialah, sesungguhnya alam semesta itu sendiri, diciptakan hanya pada sesaat saja. Ahli Astronomi Inggris fred Hoyle, menjuluki peristiwa penciptaan itu dengan ’Big Bang’ (Dentuman Besar).
Terdapat model pemikiran alam semesta tandingan diajukan oleh Bondi, Gold, dan Hoyle. Teori tersebut disebut ’Teori Keadaan Ajeq Steady’,  berusaha menjelaskan pemuaian jagat raya. Teori ini memerlukan penciptaan materi secara terus-menerus untuk mengasikan galaksi-galaksi baru ketika alam semesta memuai. Hal ini bisa memberikan jaminan bahwa alam bisa memuai, tetapi tetap tidak berubah terhadap waktu. Selama bertahun-tahun, persoalan apakah alam semesta kekal dan tidak berubah, atau hanya ada dalam kurun waktu yang terbatas hayalah dipandang sebagai isu akademis belaka. Tetapi, pukulan terhadap model keadaan lunak terjadi pada tahun 1965 ketikan Penzias dan Wilson menemukan radiasi kosmik bergelombang mikro.
Sejak tahun 1970, mayoritas ahli astronomi menerima ’Big Bang’ dan memulai pertanyaan-pertayaan khusus yang juga radikal. Bagaimana galaksi-galaksi dan kluster galaksi-galaksi yang terindera sekarang bisa terbentuk dari permuaian primordial? Terbuat dari apa sebagian materi di jagat raya ini? Bagaimana kita tahu bahwa tidak ada sejeneis materi gelap di luar sana yang tidak bersinar seperti bintang-bintang? Teori relativitas umum memberi tahu kita bahwa materi melengkungkan kurva ruang-waktu, lantas apa yang membentuk alam semesta?
Manusia baru mulai menemukan jawaban sebagian pertanyaan tersebut. Radiasi kosmik memainkan peran penting dalam memberikan gambaran tentang jagat raya sekitar seratus ribu tahun setelah ’Big Bang’. Pengamatan terhadap radiasi kosmik ini dilakukan lebih jauh oleh NASA. Pada tahun 1992, stelit NASA yang khusus dirancang untuk mendeteksi radiasi kosmik. Ternyata ada fluktuasi temperatur sebersar 1/100 ribu dalam radiasi ini. Ini memberi petunjuk tentang benih-benih ’sesuatu’ yang darinya galaksi tercipta. Sejak awal 1980-an terjadi lonjakan perhatian terhadap peristiwa fisika di awal kelahiran alam semesta. Tekhnologi baru dan percobaan satelit, seperti teleskop ruang angkasa Hubble, telah mengantarkan manusia pada gambaran dan sketsa alam semesta yang lebih komperhensif. Dan model baru pun berkembang dengan bertumpu pada ide-ide terakhir di bidang relativitas dan fisika partikel (Mizan & CIMM, 2000: 47-49).  
                          
C.     Pandangan Kosmologi Stephen Hawking: Mencari Sintesa antara Mekanika Kuantum dan Teori Relativitas Umum
Stephen Hawking lahir 8 Januari 1942 di Oxfort Inggris, dewasa ini menjadi Guru Besar Matematika di Universitas Cambridge University. Beliau mengindap penyakit neoron motorik atau amyotrophic lateral sclerosis (ALS), yang memaksanya bergerak dengan bantuan kursi roda (www. scienceworld.wolfram.com)
Menurut Hawking persoalan kosmologi merupakan sebuah persoalan yang berkaitan erat dengan hasrat manusia untuk memberi makna terhadap dunia yang tampak padanya; adapun persoalan sentralnya ialah, antara lain: apakah kodrat jagat raya? Di mana tempat kita di dalamya? Dari mana tempat itu dan dari mana kita berasal? Mengapa demikian?
Menjawab pertayaan di atas, manusia pra-ilmiah mengambil suatu ”gambar dunia”. Salah satunya, mengandaikan tumpukan kura-kura raksasa dan yang paling atas menggendong Bumi  yang datar dan mendatar. Yang kedua, teori adidawai (superstring). Bagi Hawking, kedua teori tersebut gagal menjadi teori keilmuan yang baik karena berbanding terbalik dengan pengalaman manusia.
 Hawking Mengakui bahwa keteraturan dan hukum yang jelas tentang alam semesta pertama-tama atas jasa astronomi. Dalam tiga millenium terakhir, telah banyak ditemukan teori, karenanya Laplace pada awal abad ke-19 mempostulatkan determinisme ilmiah; bahwa akan ditemukan seperangkat hukum yang menetapkan evolusi jagat raya dengan tepat jika konfigurasinya pada suatu waktu diketahui. Namun harapan tersebut, tidak dapat dilaksanakan. Asas ketidak pastian mekanika kuantum menyiratkan bawah pasangan kuantitas tertentu, seperti misalnya posisi dan kecepatan sebuah partikel, keduanya tidak bisa diramalkan dengan tepat besarnya sekaligus.
Mekanika Kuantum menjawab persoalan dengan sebuah teori bahwa partikel tidak mempunyai posisi dan kecepatan terumus dengan baik, melainkan dinyatakan oleh suatu gelombang. Teori kuantum bersifat deterministik dalam arti teori ini menghasilkan hukum untuk evolusi gelombang dengan bertambahnya waktu. Jadi jika seorang mengetahui gelombang itu pada satu waktu, ia akan dapat menghitung gelombang itu pada setiap waktunya. Unsur acak yang tidak teramalkan hanya muncul ketika kita mencoba menafsirkan gelombang itu dengan kecepatan partikel. Tetapi itu mungkin kesalah kita; mungkin tidak ada posisi dan kecepatan partikel, tetapi hanya gelombang. Hanya kita saja mencoba mencocokkan gelombang dengan dengan gagasan posisi dan kecepatan yang dibayangkan sebelumnya. Ketidaksepadanan yang dihasilkan itu merupakan sebab mengapa tampaknya gejala itu tidak dapat diramalkan.
Kenyataanya umat manusia telah merumuskan ulang tugas sains dalam menemukan teori-teori yang memungkinkan mereka meramalkan peristiwa sampai batas yang ditentukan oleh asas ketidakpastian. Namun menurut Hawking, tetap saja muncul pertanyaan, yaitu: bagaimana atau mengapa dipilih hukum-hukum dan keadaan awal jagat raya yang itu?
Stephen Hawking dalam A Brief History of Time,  menonjolkan hukum-hukum yang mengatur garavitasi, karena garvitasilah yang membentuk struktur skala besar jagat raya. Hukum Gravitasi tidak cocok dengan pandangan bahwa jagat raya tidak berubah dengan majunya waktu: karena gravitasi selalu bersifat tarik-menarik maka pastilah jagat raya itu memuai  atau mengerut. Dan baru akhir-akhir ini saja pandangan bahwa jagat raya statis dicampakkan dan ditinggalkan orang. Menurut teori relativitas umum, ruang dan waktu berawal pada singularitas ’Big Bang’ dan akan berakhir pada singularitas kerkahan besar (jika keseluruhan jagat raya runtuh kembali) atau pada singularitas di dalam lubang hitam. Setiap materi yang jatuh ke dalam lubang besar akan musnah dan hanya efek gravitasi massanya yang akan dirasakan oleh orang luar (Hawking, 1994: 184-85).
Teori relativitas umum dan mekanika kuantum  merupakan dua teori yang merupakan prestasi intelektual agung di paro pertama abad ke-20. teori relativitas umum  menjelaskan gaya gravitasi dan struktur skala besar jagat raya, yaitu struktur pada skala beberapa kilometer sampai jutaan kilometer (1 sampai 24 nol di belakangnya), ukuran jagat raya sejauh manusia dapat mengamati. Di pihak lain, mekanika kuantum  menjelaskan gejala pada skala yang luar biasa kecil, misalnya sepersejuta dari sepersejuta sentimeter. Namun sayang, kedua teori ini saling tidak konsisten—dan tidak mungkin keduanya benar. Dan orientasi buku ’A Brief History of Time, adalah sebuah pencarian sebuah teori baru yang merangkum kedua teori tersebut (Ibid: 13-14).   
Menurut asumsi Hawking, bila kita bisa mengabungkan mekaniaka kuantum  dan teori relativitas umum, akan ada suatu kemungkinan lain yang tidak pernah muncul sebelumnya: bahwa ruang dan waktu bersama-sama mungkin membentuk suatu ruang empat dimensi tanpa singularitas dan tanpa tapal batas. Gagasan ini dapat menjelaskan pelbagai wajah jagat raya yang ada dalam pengamatan. Dan jika jagat raya sama sekali mandiri, tanpa singularitas maupun tapal batas, dan terwujud suatu teori terpadu, maka akan mempunyai implikasi penting terhadap peranan Tuhan sebagai pencipta.
Einstein pernah melontarkan pertayaan: ”seberapa besar pilihan yang dimiliki Tuhan dalam rancang bangun jagat raya?” bagi Hawking jika pandangan tanpa tapal batas itu benar, maka Tuhan tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam memilih kondisi (syarat) awal jagat raya. Tetapi tentu saja Dia mempunyai kebebasan untuk memilih hukum-hukum yang harus dipatuhi jagat raya.
Hawking berharap jika memang akhirnya manusia menemukan suatu teori yang lengkap, maka selayaknya dapat dipahami oleh khalayak ramai, tidak hanya dipahami oleh segelintir ilmuwan saja. Selanjutnya, umat manusia akan mampu mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagat raya ini ada. Jika manusia mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, itulah kemenangan puncak pikiran manusia—karena itu kemudian kita akan tahu pikiran Tuhan (Ibid: 185-186). 

D.     Respons terhadap Pemikiran Kosmologi Stephen Hawking dalam ‘A Brief History of Time’
Ada berbagai tanggapan terhadap pemikiran kosmologi Stephen Hawking  terlebih berkaitan dengan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Adapun respons tersebut sangat beragam dan saling bertolak belakang; ada yang memuji dan ada yang menghujat, ada yang mendukung serta ada yang menolak.
Di antara yang komunitas yang menolak dan mengkritik pandangan kosmologi Hawking dalam hubungannya Tuhan sebagai pencipta, misalnya ialah H. Mustamin Dg. Matutu, ia berpendapat bahwa argumen Hawking dalam  A Brief of History of Time, yakni bahwa waktu itu sebelum hadirnya kosmos tidak ada atau  : 0. Sang kala baru hadir  bersamaan dengan (proses) Kehadiran kosmos. Mustamin menambahkan bahwa logika Hawking tentang ‘Big Bang’  yang menjadi tonggak awal keberadaan alam semesta merupakan fiksi dan khayalan.  Faham serba tiada atau serba “0” tersebut meliputi pula ketiadaan hukum-hukum fisika atau hukum-hukum sains—seperti antara lain Vt = S atau S = Vt - yang berlaku (atau dalam istilah Stephen Hawking--"semua hukum-hukum fisika runtuh"tidak atau belum berlaku).
Mustamin menambahkan pendapat Hawking tersebut mengundang timbulnya pertanyaan antara lain:
1.               Eksistensi (benda) apa gerangan yang mempunyai massa jenis atau kerapatan massa yang tak terhingga (~) sehingga mampu meledak dengan dahsyat dalam bentuk "Big Bang" pada - 0 - waktu (t) dan - 0 - ruang (S)?
2.               Di bawah hukum apakah proses ’Big Bang’ itu terjadi kalau pada
kejadian itu belum ada atau belum berlaku hukum-hukum sains antara lain belum berlakunya hukum Vt = S atau S = Vt ?. Dan karena P (lambang kerapatan massa atau massa jenis) dalam fisika, kerapatan massa pun yang sama dengan M/V itu juga termasuk—tentulah menurut Stephen Hawking cs - belum berlaku pula. "Pada saat Big Bang", katanya "semua hukum-hukum sains runtuh". Apakah mungkin ada yang runtuh dari serba tiada atau serba ”0” (nol) ?. Jelas dari pernyataan demikian adanya kontradiksi , yakni adanya keruntuhan dari ketiadaan yang runtuh.
3.               Apakah pengertian kerapatan massa atau massa jenis/P itu tidak
termasuk pengertian hukum sains/hukum fisika?
4.               Apakah pengertian "panas" (suhu) betapapun tingginya atau rendahnya
tidak ada hubungannya dengan hukum-hukum sains?.
5.               Apakah "pemuaian" itu dapat bermul dari ”tiada/0” benda yang memuai?

Bagi Mustamin, nampaknya kelima pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, sudah cukup membuktikan betapa  bahwa alam semesta bermula dari serba ”0” atau serba tiada itu, hanyalah suatu khayalan besar (big fiction). Menurutnya paradigma Hawking berimbas pada tiadanya ”penciptaan”, yang berarti tidak ada ”pencipta”. Karenanya Hawking ditahbiskan sebagai seorang Ateis. (www.hamline.edu.)
Tidak adil kiranya jika penulis tidak ketengah pendapat yang mengamini dan memuji kontribusi pemikiran Hawking. Dr. "Fritz" Schaefer memandang buku A Brief History of Time  merupakan buku sejarah sains terlaris, terjual 10 ribu eksemplar. Kemudian berkaitan dengan kritik dan hujatan kepada Hawaking sebagai Ateis, Dr. Schaefer memandang kurang beralasan karena kalau tinjau secara lokus dan tempus, Hawking hidup dengan orang-rang yang religius, meski pun pada umur 13 tahun  memuja Bertrand Russell yang nota bene seorang filsuf ateis. Misalnya, Jane Hawking istri Stephen Hawking yang selalu menemani suaminya yang mengindap ALS, di tahun 1986 ia berkata: "Without my faith in God, I wouldn't have been able to live in this situation;"… "I would not have been able to marry Stephen in the first place because I wouldn't have had the optimism to carry me through and I wouldn't have been able to carry on with it." Dan Stephen Hawking berkata: "what really made a difference was that I got engaged to a woman named Jane Wilde. This gave me something to live for."
Dr. Schaefer menambahkan bahwa alas an buku tersebut laris terjual, karena menelaah persoalan makna dan tujuan yang menjadi concern  seluruh lapisan masyarakat. Juga, buku tersebut sejalan dengan iman Kristiani dan disajikan bahasa luwes, ramah, dan tidak tendensius. Buku tersebut, merupakan bacaan penting yang perlu dihargai (http://leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html).
Akhirnya, semua kembali pada kita yang melakukan penafsiran dan pembacaan terhadap pemikiran kosmologi Stephen Hawking dalam A Brief History of Time, karena bagaimanapun setiap penyimpulan kita tak pernah terlepas dari pandangan dunia (world view) positif atau pun negatif.  

E.       Penutup
Usaha Stephen Hawking untuk menemukan teori gabungan antara teori relativitas umum  dan mekanika  kuantum sebagai sebuah langkah mencari jawaban dan menyingkap misteri alam semesta, perlu dihargai dengan penuh ketulusan tanpa sikap prejudice. Kemudian, seputar kontroversi penafsiran terhadap pandangan Hawking, selayaknya diletakkan pada tataran discourse, demi menambah kearifan kita sebagai manusia yang gelisah mencari jawaban atas misteri jagat raya.    


Daftar Pustaka
Bagus,Lorens.  2002. Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Biorgapi Stephen hawking, http://scienceworld.wolfram.com/biography/Hawking.html

Hawking, Stephen. 1994. Riwayat Sang Kala, Dari Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam, terjem. oleh. Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka, Pustkaka Grafiti, Jakarta.

Henry F.,Schaefer Stephen Hawking, The Big Bang, and God  dalam http://www.leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html

Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat, terjem. oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.

”Lensernya Rezim Newton”, Majalah Seri Penerbitan Sains, Teknologi, dan Masyarakat, Bandung, Muharram 1421/April 2000.

Matutu, H. Mustamin Dg. Kosmologi Ala Stephen Hawking c.s. Mengandung Fiksi,Kontradiksi,danInkonsistensihttp://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0032.html

Runes, Dagobert  D. (ed.), 1971. Dictionary of Philosophy, Littlefield Adam & CO, New Jersey.

Siswanto, Joko .Orientasi Kosmologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Taryadi, Alvons. 1989. Epitemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

JÜRGEN HABERMAS: DARI TEORI KRITIS SAMPAI DEMOKRASI DELIBERATIF


A.     Siapa Habermas?
Jürgen Habermas bukan saja seorang filsuf kontempoer yang paling terkenal di Jerman tetapi juga masyhur di dunia internasional. Tahun ini tepatnya, 18 Juni 2007, ia akan merayakan  hari ulang Tahunnya yang ke-78. Ia dilahirkan di Düsseldorf pada tahun 1929 dan dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota kecil  di dekat Düsseldorf.[1]
Di universitas kota Göttingen ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat. Kemudian, dalam waktu yang singkat Zürich, ia meneruskan studi filsafat di pada universitas Bonn di tahun  1945 dan mendapatkan gelar ’doktor filsafat’  dengan sebuah disertasi yang berjudul Das Absolute und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah). Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di Franfurt dan menjadi asisten Adorno. Dari kesaksian Habermas sendiri, ia mengakui kalau dirinya belajar sosiologi dari Adorno. Pada lembaga ini ia mengerjakan segi teoritis penelitian tentang sikap politik mahasiswa. Dan hasil penelitian itu dipublikasikan dalam buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik) pada tahun 1964.[2]
Sekitar tahun 1961-1964 ia diundang menjadi profesor di bidang filsafat di Heidelberg. Kemudian pada tahun 1964 ia kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi profesor filsafat dan sosiologi, menggantikan Horkheimer. Pada tahun 1960-an Habermas sanganta populer dalam kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa kelompok dianggap sebagai ideolog mereka. Tetapi saat aksi-aksi mahasiswa mulai melewati batas dengan melakukan kekerasan, Habermas tidak segan mengkritik mereka. Lama-kelamaan ia tidak luput dari nasib yang sudah, menimpa seniornya di Mazhab Frankfurt (Horkheimer dan Adorno); ia mengalami konflik dengan mahasiswa. Pada tahun 1969, ia menerbitkan buku Protestbewegung und Hoshschulreform (Gerakan Oposisi dan Pembaharuan Perguruan Tinggi), merupakan evaluasi kritis tentang gerakan protes pada mahasiswa dalam tahun 1960-an; suatu buku yang menjadi best-seller  di Jerman. Pada tahun 1971 Habermas meninggalkan Frankfurt, dengan alasan bahwa ia tidak lagi merasa betah mengajar di universitas itu. Ia selanjutnya menerima tawaran menjadi direktur—bersama C.F. Weizsacker, seorang fisikawan dan filsuf—dari Max planck Institut  di Stanberg (sebuah tempat di dekat München), yang meneliti kondisi kehidupan dalam dunia ilmiah teknis.[3]
Begitulah beberapa catatan penting dalam perjalanan hidup Habermas—sebagai sosok pemikir yang notabene masih hidup sampai detik ini. Adapun beberapa karya beliau, antara lain: Student und Politik (1964), Theorie und Praxis (1963), Zur Logik der Sozialwissenschaften (1967), Technik und Wissenschaft als Ideologie (1968), Erkenntnis und interrese (1968), Theorie der Gesselschaft order Sozialtechnologie (1971), Between Fact and Norm (1992), Commnication and the Evolution of Society (1976), Moral Conciousness and Commnicatif Action (1983), The Theory of Commniative Action (1988), The Positivist Dispute in German Sosiology (1969), dan lain sebagainya.
Melukiskan perkembangan pemikiran Habermas,  maka tak bisa dipungkiri bahwa titik tolak seluruh pemikirannya berangkat dari teori kritis menuju teori masyarakat yang praksis. Orientasi tulisan ini, berusaha menggambarkan pemikiran Habermas secara menyeluruh, karenanya penulis akan mengetengahkan  beberapa key words (kata kunci) dari pemikiran filsafatnya, yaitu; teori kritis, pengetahuan dan kepentingan, rasionalitas komunikatif,  etika diskursus, dan  demokrasi deliberatif.  
  
B.     Teori Kritis: Titik Tolak Pemikiran Filsafat Habermas
Teori kritis ata filsafat kritis merupakan tradisi besar pemikiran yang mengambil ispirasinya pada karya intelektual Karl Marx. Ciri khas dari filsafat kritis ialah bahwa ia selalu berkatian erat dengan kritik terhadap hubungan sosial nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyrakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emasnsipasi. Yang khas dari pemikiran kritis ialah bahwa aliran-aliran yang ada sangat heterogen, setiap pemikir kritis memiliki kekhasannya sendiri. Yang mempersatukan mereka ialah kenyataan bahwa mereka sembari melajutkan pemikiran Marx secara kritis dan dogmatis, malah di sisi lain menolak apa yang disebut ”marxisme resmi”. Terlebih penolakan mereka terhadap ideologi komunis, Marxisme-Leninisme. Oleh sebab itu pula, aliran mereka dibenci dan dikutuk oleh kaum komunis,[4]
Teori kritis sendiri berkembang pesat pada tahun tiga puluhan abad ini, yang didukung oleh para pemikir Mazhab Frankfurt. Jürgen Habermas berkenalan dengan teori kritis pada tahun 1954, saat ia menjadi asisten Adorno. Ia menjadi pewaris sekaligus pembaharu dari teori kritis Mazhab Frankfurt. Teori kritis sendiri, dalam dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial mendakwa bahwa teori tradisonal—seluruh pemikiran di Barat semenjak Zaman Yunani sampai sekarang—kontemplatif dan afirmatif, karenanya bersifat ideologis.
Menurut rumusan Habermas sebuah teori kritis haruslah merefleksikan kaitan perkembangannya, maupun kaitan penggunaannya. Jadi, bukan tugas teori kritis untuk langsung mengritik secara asal, karena itu akan menjadikannya ajaran yang dogmatis. Yang akhirnya menjadikannya merosot kembali sebagai teori tradisonal, yaitu teori murni yang dihadapkan pada realitas—ini merupakan salah satu kritik Habermas terhadap Marx.[5]   
Teori Kritis didasarkan pada paham materialisme-historis. Pola pikir historis berarti bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat dipahami betul kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Materialisme—sebagai paham yang berpandangan bahwa materi adalah satu-satunya realitas—di sini, dipahami bahwa sejarah penindasan itu terwujud dalam bidang produksi prasyarat-prasyarat material manusia, dalam bidang ekonomi.
Habermas mengatakan bahwa dirinya tetap terikat pada pendekatan ”materialisme-hisoris”, namun ia tidak lagi mengadaikan—sebagaimana dilakukan para pemikir teori kritis klasik, termasuk Marx di dalamnya—bahwa alat produksi dan sturktr-struktur kekuasaan ekonomis sebagai unsur yang paling menentukan. Karena baginya gerak sejarah, maju dan mundurnya, ditentukan oleh kondisi-kondisi kontigen konkret. [6]       

C.     Pengetahuan dan Kepentingan
Pada tahun 1961 Universitas Tübingen berhasil menghadapkan dua tokoh yang berlawanan dalam satu seminar, yakni Theodor W. Adorno  dan Karl R. Popper.[7] Persoalan yang diperdebatkan ialah seputar pengetahun; apakah ia bebas nilai atau tidak. Popper sebagai perumus prinsip falsifikasi menolak tuduhan bahwa individu seperti Plato, Hegel, dan Marx beranggapan bahwa sejarah memiliki hukum perkembangan atau tujuan objektif. Ia menuduh pandangan itu cenderung megorbankan manusia demi tercapainya ’tuntutan objektif sejarah’. Sedangkan Adorno sebaliknya berpendapat bahwa pendekatan yang ”bebas nila” itulah yang ideologis karena tidak menyadari bahwa ”objektivitas’’ itulah merupakan  layar asap kepentingan-kepentingan terselubung.[8]
Dalam hal ini, Habermas sepakat bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Namun ia tidak menerima anggapan awam sederhana bahwa ilmu pengetahuan mesti selalu melayani kepentingan kelas atas. Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antar pengetahuan dan kepentingan? Manusia mengetahui karena ia berkepentingan akan pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan  terwujud dari dalam oleh kepentingan. Menurut analisa Habermas, ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia: pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang diarahkan oleh kepentingan ’praksis’ (dalam pengertian), yakni kepentingan untuk memahami makna. Ketiga, ilmu kritis (filsafat dan psikoanalisa), didorong oleh kepentingan emansipatoris, yakni kepentingan untuk membebaskan. Tiga kepentingan itu, bagi Habermas merupakan ”kuasi transendental” karena tidak bersifat empiris tetapi masuk dengan sendirinya kedalam struktur pengetahuan yang bersangkutan. Tiga kepentingan tersebut sejajar dengan tiga medan kehidupan manusia: alam, masyarakat, dan kekuasaan.[9]
Dan yang menarik ternyata Habermas tidak pernah kembali lagi pada tiga kepentingan ini. Kemungkinan karena ketiga kepentingan tersebut non-empiris sehingga tidak memiliki kegunaan dalam membuka hubungan kekuasaan spesifik dan tidak bisa dipakai membuka keterbelengguan ideologis.[10]         

D.    Rasionalitas Komunikatif: Dasar Tindakan Komunikatif
Menurut Habermas manusia memili dua rasionalitas dasar yaitu: rasionalitas sasaran dan rasioanlitas komunikatif. Bahasa merupakan tempat pengalaman rasionalitas. Berkaitan hubungan rasionalitas dan bahasa ia berpendapat; pertama, rasionalitas tertanam dalam struktur bahasa itu sendiri. Dalam sebuah komunikasi antara dua orang, terdapat empat klaim dalam idea setiap pembicara; bahwa pembicaraan itu bersifat jelas, benar, jujur, dan betul. Dari kenyataan ini, menegaskan bahwa meskipun komunikasi dalam kenyataan banyak yang gagal, namun setiap orang pada hakikatnya memiliki cita-cita akan komunikasi yang berhasil. Itulah yang disebut rasionalitas komunikatif.[11]
Kedua, orang belajar berkomunikasi secara rasional dengan terus-menerus mengambil sikap verbal terhadap empat wilayah pengalamannya: tentang alam luar ia belajar mengatakan apa yang sesuai dengannya; terhadap masyarakat ia belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya  sendiri diungkapkannya dengan jujur dan itu semua dilakukannya melalui sarana bahasa yang jelas. Begitulah manusia berkomunikasi.
Ketiga, rasionalitas individu selalu tertanam dalam rasionalitas masyarakatnya. Dalam perubahan sosial ia membedakan antara logika perkembangan dan dinamika perkembangan. Logika perkembangan menentukan kemajuan mana yang mungkin tercapai dalam dimensi rasionalitas. Sedangkan dinamika perkembangan menyangkut pertanyaan apakah suatu perubahan memang akan terjadi. Dinamika perkembangan bergantung dengan pengalaman-pengalaman kontigen masyarakat yang bersangkutan dan tidak dapat dipastikan secara apriori. Jadi,  apakah masyarakat mengalami perubahan itu bukan suatu hal yang pasti, sangat bergantung dari apa yang dialami oleh masyrakat itu. Satu catatan bahwa apabila ada perubahan dalam masyrakat, maka perubahan itu pasti ke arah rasionalitas lebih tinggi. [12]
Pengertian dan pemahaman di atas merupakan dasar dari teori tindakan komunikatif  yang dicita-citakan oleh Habermas.     
  
E.     Etika Diskursus
Etika diskursus bukalah sebuah pendasaran etika. Ia tidak menjawab mengapa kita harus bermoral. Ia tidak menghasilkan jawaban-jawaban siap pakai atas pertayaan-pertayaan moral. Ia merupakan metode untuk memastikan kembali arti norma-norma moral yang dipertanyakan. Etika diskursus ingin meminta jawaban atas pertanyaan ”apa yang adil?”. Pertanyaan tersebut, ialah salah satu pertanyaan yang sangat mendesak karena perubahan-perubahan mendalam atas kehidupan masyarakat 300 tahun terakhir ini, menjadikan jawaban-jawaban klasik tidak bisa dipakai lagi. [13]
Dalam masyarakat yang homogen pertanyaan tentang apa yang adil tidak bisa dijawab dengan mengacu pada tradisi moral dan agama.  Apalagi pada masyarakat sekarang yang cenderung lebih plural dan heterogen, dalam suatu komunitas yang sama pertanyaan moral sering dijawab secara berbeda, terlebih pada komunitas yang berbeda. Itulah situasi etika diskursus, yang merupakan sebuah proses yang sudah lama berlangsung. Pandangan Habermas tersebut bertolak dari gagasan Kant, yang mengatakan bahwa etika bukan untuk menetapkan sederetan norma moral, melainkan untuk mengkaji pertimbangan-pertimbangan moral yang nyata-nyata dilakukan oleh masyrakat, apakah secara moral memadai. Namun ia menyangkal bahwa kesadaran individu dapat menjadi individu berlaku universal sebuah norma moral. Menurut Habermas, apakah norma moral dapat berlaku secara universal hanya dapat dipastikan dalam diskursus dimana setiap individu dan kelompok yang bersangkutan terlibat. Itulah inti dari etika diskursus.[14]
Jadi, etika diskursus ini merupakan jalan keluar saat jawaban-jawaban tradisional tak lagi diterima begitu saja. Untuk memastikan kembali hakikat dari keadilan, semua yang bersangkutan harus sama-sama membahasnya. Dalam rumusan Habermas, sebuah norma hanya boleh dianggap sah jikalau ’akibat’ atau ’efek’ yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja, andai kata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua. Cara memastikan syarat ini adalah diskursus, sebuah perbincangan bersama di mana semua orang yang bersangkutan boleh ikut, tanpa tekanan dan paksaan apa pun. Maka prinsip diskursus menyatakan bahwa hanya norma-norma tindakan yang dapat disetujui oleh semua yang bersangkutan boleh dianggap sah demi kepentingan bersama. Karenanya sifat diskursus ini mengharuskan sikap bebas pamrih.
Habermas menyadari bahwa realitas sebuah diskursus tidak pernah ’ideal’ melainkan akan selalu ada bermacam-macam tekanan dan para partisipannya pun sulit untuk melepaskan diri dari pamrih. Namun  demikian, etika diskursus tetap memiliki arti praktis besar. Dalam situasi pluralisme kultural, tidak cukup kita hanya mengadakan kompromi pragmatis dalam menata kehidupan bersama. Perdamaian dan kesejahteraan akan semakin terwujud nyata, apabila semua pihak bisa menerima tatanan politik, ekonomi dan sosial  bersama sebagai suatu yang adil. Di sinilah, peranan etika diskursus sebagai metode dibutuhkan untuk mencapai konsensus moral.[15]   

F.     Demokrasi Deliberatif
Habermas menerapkan etika diskursus pada wilayah politik. Wilayah politik, di satu pihak ditentukan oleh faktisitas hukum, di pihak lain ada tuntutan bahwa hukum secara moral sah. Selalu ada ketegangan atau antinomi nilai, antara positivisme hukum yang menyatakan bahwa hukum positif harus ditaati, karena ia dengan sendirinya sah. Dan hukum kodrat yang menyatakan bahwa hukum yang secara moral tidak bisa dipertanggungjwabkan kehilangan daya ikatnya. Dalam hal ini, Habermas menegaskan bahwa integrasi sosial masyarakat tidak akan pernah terwujud tanpa hukum. Solidaritas antara warga bangsa tidak cukup kuat menjamin pemecahan konflik dalam masyarakat secara damai. Sedangkan mekanisme integrasi sosialnya, yakni uang dan kekuasaan tidak menjamin dalam jangka panjang, karena ia masih memerlukan legitimasi tambahan. Dengan adanya hukum masalah integrasi bisa diselesaikan, juga meringankan beban diskursus dalam masyarakat.
Namun hukum tidak secara otomatis menjalankan fungsinya itu. Bagi Habermas hukum modern merupakan sarana integrasi sosial yang sangat ambigu. Karena ia rentan terhadap pengaruh segala macam lobby. Agar hukum dapat menjalankan fungsinya, hukum harus legitimate  dalam pandangan masyarakat. ”Demokrasi deliberatif” adalah demokrasi dimana legitimasi hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil.[16] Dalam demokrasi deliberatif  perundangan dipengaruhi oleh diskursus-diskursus liar yang terjadi dalam masyarakat. Di samping kekuasaan administratif (negara) kekuasaan ekonomis (uang) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif  melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil atau yang dikenal juga dengan ”ruang publik politik”.[17]
Bagi Habermas konsepsi demokrasi deliberatif hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat yang memiliki budaya demokratis yang bebas dan beradab serta bersedia belajar. Demokrasi deliberatif merupakan utopi nyata masyarakat plural yang melalui komunikasi intesif  antara semua bagian secara terus-menerus demi tercapainya kehidupan bersama yang adil dan berdamai.  

G.    Penutup
Demikian, uraian mengenai pokok-pokok pemikiran filsafat Jürgen Habermas, yakni: teori kritis, pengetahuan dan kepentingan, rasionalitas komunikatif,  etika diskursus, dan  demokrasi deliberatif. Namun satu catatan penting bahwa inti dari seluruh pemikiran Habermas ialah menyelamatkan warisan Pencerahan yang terpenting: komitmen pada rasionalitas.
Menurut hemat penulis, pemikiran Habermas merupakan salah satu contoh yang paling tepat sumbangsih filsafat bagi perkembangan dunia kontemporer yang bertolak dari persoalan nyata dunia kekinian kita. Sesuai dengan slogan Franz Magnis Suseno:..berfilsafat dari konteks..[18]

Daftar Pustaka

Adorno, Theodor We.a., The Positivist Desput in German.  New York.

Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Gramedia, Jakarta.
Blackburn,Simon. 1994.  The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford University Press, Oxford-New York.

Habermas. Jürgen. 1989. The Structural Transformation of  The Public Sphere. Polity Press, Massachussett.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodma. 2004. Teori Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), Prenada, Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1992.  Berfilsafat dari Konteks. Gramedia, Jakarta.
____________,. 2002.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius, Yogyakarta.
____________, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12 Tahun ke-53, November –Desember, Yogyakarta.



[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia: 1990), hlm. 236. lihat juga Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford-New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 165.
[2] Ibid.
[3] Ibid. 238.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2002 ), hlm. 177.
[5] Ibid. hlm. 180.
[6] Ibid. 182.
[7] Terkait dengan perseteruan antara dua kubu tersebut, Popper mengkritik Habermas sebagai berikut; “it is for reason such as these that I find it so difficult to discuss any serious problem with Proesor Habermas. I am sure that he is perfectly sincere. But I think he doesn’t know how to put thing simply, clearly, and modestly, rather than impressively. Most of what he says semmto me trivial; the rest to me mistaken..” lihat Theodor W. Adorno, e.a., The Positivist Desput in German, (New York:) hlm. 267.

[8] Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12 Tahun ke-53, November –Desember 2004, Yogyakarta,  hlm. 6.

[9] George Ritzer dan Douglas J. Goodma, Teori Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), (Jakarta: Prenada, 2004), 185-186.

[10] Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas...hlm. 6.   

[11] Ibid. hlm. 7.

[12] Ibid. hlm. 8.

[13] Ibid. hlm. 10

[14] Ibid. hlm. 11
[15] Ibid.

[16] Ibid. hlm. 12.

[17] Jürgen Habermas, The Structural Transformation of  The Public Sphere, (Massachussett: Polity Press, 1989), hlm. 57-79.

[18] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. xi.