A.
Siapa Habermas?
Jürgen
Habermas bukan saja seorang filsuf kontempoer yang paling terkenal di Jerman
tetapi juga masyhur di dunia internasional. Tahun ini tepatnya, 18 Juni 2007,
ia akan merayakan hari ulang Tahunnya
yang ke-78. Ia dilahirkan di Düsseldorf pada tahun 1929 dan dibesarkan di
Gummersbach, sebuah kota kecil di dekat
Düsseldorf.[1]
Di
universitas kota Göttingen ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat.
Kemudian, dalam waktu yang singkat Zürich, ia meneruskan studi filsafat di pada
universitas Bonn di tahun 1945 dan
mendapatkan gelar ’doktor filsafat’
dengan sebuah disertasi yang berjudul Das Absolute und die Geschichte
(Yang Absolut dan Sejarah). Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di
Franfurt dan menjadi asisten Adorno. Dari kesaksian Habermas sendiri, ia
mengakui kalau dirinya belajar sosiologi dari Adorno. Pada lembaga ini ia mengerjakan segi teoritis penelitian
tentang sikap politik mahasiswa. Dan hasil penelitian itu dipublikasikan dalam
buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik) pada tahun 1964.[2]
Sekitar
tahun 1961-1964 ia diundang menjadi profesor di bidang filsafat di Heidelberg. Kemudian
pada tahun 1964 ia kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi
profesor filsafat dan sosiologi, menggantikan Horkheimer. Pada tahun 1960-an
Habermas sanganta populer dalam kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa
kelompok dianggap sebagai ideolog mereka. Tetapi saat aksi-aksi mahasiswa mulai
melewati batas dengan melakukan kekerasan, Habermas tidak segan mengkritik
mereka. Lama-kelamaan ia tidak luput dari nasib yang sudah, menimpa seniornya
di Mazhab Frankfurt (Horkheimer dan Adorno); ia mengalami konflik dengan
mahasiswa. Pada tahun 1969, ia menerbitkan buku Protestbewegung und
Hoshschulreform (Gerakan Oposisi dan Pembaharuan Perguruan Tinggi),
merupakan evaluasi kritis tentang gerakan protes pada mahasiswa dalam tahun
1960-an; suatu buku yang menjadi best-seller di Jerman. Pada tahun 1971 Habermas meninggalkan
Frankfurt, dengan alasan bahwa ia tidak lagi merasa betah mengajar di
universitas itu. Ia selanjutnya menerima tawaran menjadi direktur—bersama C.F.
Weizsacker, seorang fisikawan dan filsuf—dari Max planck Institut di Stanberg (sebuah tempat di dekat München),
yang meneliti kondisi kehidupan dalam dunia ilmiah teknis.[3]
Begitulah
beberapa catatan penting dalam perjalanan hidup Habermas—sebagai sosok pemikir
yang notabene masih hidup sampai detik ini. Adapun beberapa karya
beliau, antara lain: Student und Politik (1964), Theorie und Praxis (1963), Zur
Logik der Sozialwissenschaften (1967), Technik und Wissenschaft als Ideologie
(1968), Erkenntnis und interrese (1968), Theorie der Gesselschaft order
Sozialtechnologie (1971), Between Fact and Norm (1992), Commnication and the
Evolution of Society (1976), Moral Conciousness and Commnicatif Action (1983), The
Theory of Commniative Action (1988), The Positivist Dispute in German Sosiology
(1969), dan lain sebagainya.
Melukiskan
perkembangan pemikiran Habermas, maka
tak bisa dipungkiri bahwa titik tolak seluruh pemikirannya berangkat dari teori
kritis menuju teori masyarakat yang praksis. Orientasi tulisan ini, berusaha
menggambarkan pemikiran Habermas secara menyeluruh, karenanya penulis akan
mengetengahkan beberapa key words
(kata kunci) dari pemikiran filsafatnya, yaitu; teori kritis, pengetahuan
dan kepentingan, rasionalitas komunikatif,
etika diskursus, dan demokrasi
deliberatif.
B.
Teori Kritis: Titik Tolak Pemikiran Filsafat Habermas
Teori
kritis ata filsafat kritis merupakan tradisi besar pemikiran yang mengambil
ispirasinya pada karya intelektual Karl Marx. Ciri khas dari filsafat kritis
ialah bahwa ia selalu berkatian erat dengan kritik terhadap hubungan sosial
nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyrakat serta dirinya sendiri dalam
konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emasnsipasi. Yang khas dari
pemikiran kritis ialah bahwa aliran-aliran yang ada sangat heterogen, setiap
pemikir kritis memiliki kekhasannya sendiri. Yang mempersatukan mereka ialah
kenyataan bahwa mereka sembari melajutkan pemikiran Marx secara kritis dan
dogmatis, malah di sisi lain menolak apa yang disebut ”marxisme resmi”.
Terlebih penolakan mereka terhadap ideologi komunis, Marxisme-Leninisme. Oleh
sebab itu pula, aliran mereka dibenci dan dikutuk oleh kaum komunis,[4]
Teori
kritis sendiri berkembang pesat pada tahun tiga puluhan abad ini, yang didukung
oleh para pemikir Mazhab Frankfurt. Jürgen Habermas berkenalan dengan teori
kritis pada tahun 1954, saat ia menjadi asisten Adorno. Ia menjadi pewaris
sekaligus pembaharu dari teori kritis Mazhab Frankfurt. Teori kritis sendiri,
dalam dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial mendakwa bahwa teori tradisonal—seluruh
pemikiran di Barat semenjak Zaman Yunani sampai sekarang—kontemplatif dan
afirmatif, karenanya bersifat ideologis.
Menurut
rumusan Habermas sebuah teori kritis haruslah merefleksikan kaitan
perkembangannya, maupun kaitan penggunaannya. Jadi, bukan tugas teori kritis
untuk langsung mengritik secara asal, karena itu akan menjadikannya ajaran yang
dogmatis. Yang akhirnya menjadikannya merosot kembali sebagai teori tradisonal,
yaitu teori murni yang dihadapkan pada realitas—ini merupakan salah satu kritik
Habermas terhadap Marx.[5]
Teori
Kritis didasarkan pada paham materialisme-historis. Pola pikir historis berarti
bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat dipahami betul kalau dilihat
sebagai hasil sebuah sejarah. Materialisme—sebagai paham yang berpandangan
bahwa materi adalah satu-satunya realitas—di sini, dipahami bahwa sejarah
penindasan itu terwujud dalam bidang produksi prasyarat-prasyarat material
manusia, dalam bidang ekonomi.
Habermas
mengatakan bahwa dirinya tetap terikat pada pendekatan ”materialisme-hisoris”,
namun ia tidak lagi mengadaikan—sebagaimana dilakukan para pemikir teori kritis
klasik, termasuk Marx di dalamnya—bahwa alat produksi dan sturktr-struktur
kekuasaan ekonomis sebagai unsur yang paling menentukan. Karena baginya gerak
sejarah, maju dan mundurnya, ditentukan oleh kondisi-kondisi kontigen konkret. [6]
C.
Pengetahuan dan Kepentingan
Pada tahun
1961 Universitas Tübingen berhasil menghadapkan dua tokoh yang berlawanan dalam
satu seminar, yakni Theodor W. Adorno
dan Karl R. Popper.[7]
Persoalan yang diperdebatkan ialah seputar pengetahun; apakah ia bebas nilai
atau tidak. Popper sebagai perumus prinsip falsifikasi menolak tuduhan bahwa
individu seperti Plato, Hegel, dan Marx beranggapan bahwa sejarah memiliki hukum
perkembangan atau tujuan objektif. Ia menuduh pandangan itu cenderung megorbankan
manusia demi tercapainya ’tuntutan objektif sejarah’. Sedangkan Adorno
sebaliknya berpendapat bahwa pendekatan yang ”bebas nila” itulah yang ideologis
karena tidak menyadari bahwa ”objektivitas’’ itulah merupakan layar asap kepentingan-kepentingan
terselubung.[8]
Dalam hal
ini, Habermas sepakat bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Namun ia tidak
menerima anggapan awam sederhana bahwa ilmu pengetahuan mesti selalu melayani
kepentingan kelas atas. Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antar pengetahuan
dan kepentingan? Manusia mengetahui karena ia berkepentingan akan pengetahuan,
karena itu ilmu pengetahuan terwujud dari dalam oleh kepentingan. Menurut
analisa Habermas, ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh
tiga kepentingan dasar manusia: pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis didorong
oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang
diketahui. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang diarahkan oleh
kepentingan ’praksis’ (dalam pengertian), yakni kepentingan untuk memahami
makna. Ketiga, ilmu kritis (filsafat dan psikoanalisa), didorong oleh
kepentingan emansipatoris, yakni kepentingan untuk membebaskan. Tiga
kepentingan itu, bagi Habermas merupakan ”kuasi transendental” karena tidak
bersifat empiris tetapi masuk dengan sendirinya kedalam struktur pengetahuan
yang bersangkutan. Tiga kepentingan tersebut sejajar dengan tiga medan
kehidupan manusia: alam, masyarakat, dan kekuasaan.[9]
Dan yang
menarik ternyata Habermas tidak pernah kembali lagi pada tiga kepentingan ini.
Kemungkinan karena ketiga kepentingan tersebut non-empiris sehingga tidak
memiliki kegunaan dalam membuka hubungan kekuasaan spesifik dan tidak bisa
dipakai membuka keterbelengguan ideologis.[10]
D.
Rasionalitas Komunikatif: Dasar Tindakan Komunikatif
Menurut
Habermas manusia memili dua rasionalitas dasar yaitu: rasionalitas sasaran dan
rasioanlitas komunikatif. Bahasa merupakan tempat pengalaman rasionalitas.
Berkaitan hubungan rasionalitas dan bahasa ia berpendapat; pertama, rasionalitas
tertanam dalam struktur bahasa itu sendiri. Dalam sebuah komunikasi antara dua
orang, terdapat empat klaim dalam idea setiap pembicara; bahwa
pembicaraan itu bersifat jelas, benar, jujur, dan betul. Dari kenyataan
ini, menegaskan bahwa meskipun komunikasi dalam kenyataan banyak yang gagal,
namun setiap orang pada hakikatnya memiliki cita-cita akan komunikasi yang
berhasil. Itulah yang disebut rasionalitas komunikatif.[11]
Kedua,
orang belajar berkomunikasi secara rasional dengan terus-menerus mengambil
sikap verbal terhadap empat wilayah pengalamannya: tentang alam luar ia
belajar mengatakan apa yang sesuai dengannya; terhadap masyarakat ia
belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya sendiri diungkapkannya dengan jujur dan itu
semua dilakukannya melalui sarana bahasa yang jelas. Begitulah
manusia berkomunikasi.
Ketiga,
rasionalitas individu selalu tertanam dalam rasionalitas masyarakatnya. Dalam
perubahan sosial ia membedakan antara logika perkembangan dan dinamika
perkembangan. Logika perkembangan menentukan kemajuan mana yang mungkin
tercapai dalam dimensi rasionalitas. Sedangkan dinamika perkembangan
menyangkut pertanyaan apakah suatu perubahan memang akan terjadi. Dinamika perkembangan
bergantung dengan pengalaman-pengalaman kontigen masyarakat yang bersangkutan
dan tidak dapat dipastikan secara apriori. Jadi, apakah masyarakat mengalami perubahan itu
bukan suatu hal yang pasti, sangat bergantung dari apa yang dialami oleh masyrakat
itu. Satu catatan bahwa apabila ada perubahan dalam masyrakat, maka perubahan
itu pasti ke arah rasionalitas lebih tinggi. [12]
Pengertian
dan pemahaman di atas merupakan dasar dari teori tindakan komunikatif yang dicita-citakan oleh Habermas.
E.
Etika Diskursus
Etika
diskursus bukalah sebuah
pendasaran etika. Ia tidak menjawab mengapa kita harus bermoral. Ia tidak
menghasilkan jawaban-jawaban siap pakai atas pertayaan-pertayaan moral. Ia
merupakan metode untuk memastikan kembali arti norma-norma moral yang
dipertanyakan. Etika diskursus ingin meminta jawaban atas pertanyaan ”apa yang
adil?”. Pertanyaan tersebut, ialah salah satu pertanyaan yang sangat mendesak
karena perubahan-perubahan mendalam atas kehidupan masyarakat 300 tahun
terakhir ini, menjadikan jawaban-jawaban klasik tidak bisa dipakai lagi. [13]
Dalam masyarakat
yang homogen pertanyaan tentang apa yang adil tidak bisa dijawab dengan mengacu
pada tradisi moral dan agama. Apalagi
pada masyarakat sekarang yang cenderung lebih plural dan heterogen, dalam suatu
komunitas yang sama pertanyaan moral sering dijawab secara berbeda, terlebih
pada komunitas yang berbeda. Itulah situasi etika diskursus, yang
merupakan sebuah proses yang sudah lama berlangsung. Pandangan Habermas
tersebut bertolak dari gagasan Kant, yang mengatakan bahwa etika bukan untuk
menetapkan sederetan norma moral, melainkan untuk mengkaji
pertimbangan-pertimbangan moral yang nyata-nyata dilakukan oleh masyrakat,
apakah secara moral memadai. Namun ia menyangkal bahwa kesadaran individu dapat
menjadi individu berlaku universal sebuah norma moral. Menurut Habermas, apakah
norma moral dapat berlaku secara universal hanya dapat dipastikan dalam diskursus
dimana setiap individu dan kelompok yang bersangkutan terlibat. Itulah inti
dari etika diskursus.[14]
Jadi, etika
diskursus ini merupakan jalan keluar saat jawaban-jawaban tradisional tak lagi
diterima begitu saja. Untuk memastikan kembali hakikat dari keadilan, semua
yang bersangkutan harus sama-sama membahasnya. Dalam rumusan Habermas, sebuah
norma hanya boleh dianggap sah jikalau ’akibat’ atau ’efek’ yang diperkirakan
akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja, andai kata norma itu ditaati
secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua. Cara memastikan syarat
ini adalah diskursus, sebuah perbincangan bersama di mana semua orang yang
bersangkutan boleh ikut, tanpa tekanan dan paksaan apa pun. Maka prinsip
diskursus menyatakan bahwa hanya norma-norma tindakan yang dapat disetujui
oleh semua yang bersangkutan boleh dianggap sah demi kepentingan bersama. Karenanya
sifat diskursus ini mengharuskan sikap bebas pamrih.
Habermas
menyadari bahwa realitas sebuah diskursus tidak pernah ’ideal’ melainkan akan
selalu ada bermacam-macam tekanan dan para partisipannya pun sulit untuk melepaskan
diri dari pamrih. Namun demikian, etika
diskursus tetap memiliki arti praktis besar. Dalam situasi pluralisme
kultural, tidak cukup kita hanya mengadakan kompromi pragmatis dalam menata
kehidupan bersama. Perdamaian dan kesejahteraan akan semakin terwujud nyata,
apabila semua pihak bisa menerima tatanan politik, ekonomi dan sosial bersama sebagai suatu yang adil. Di
sinilah, peranan etika diskursus sebagai metode dibutuhkan untuk
mencapai konsensus moral.[15]
F.
Demokrasi Deliberatif
Habermas
menerapkan etika diskursus pada wilayah politik. Wilayah politik, di satu pihak
ditentukan oleh faktisitas hukum, di pihak lain ada tuntutan bahwa hukum
secara moral sah. Selalu ada ketegangan atau antinomi nilai, antara positivisme
hukum yang menyatakan bahwa hukum positif harus ditaati, karena ia dengan
sendirinya sah. Dan hukum kodrat yang menyatakan bahwa hukum yang secara moral
tidak bisa dipertanggungjwabkan kehilangan daya ikatnya. Dalam hal ini,
Habermas menegaskan bahwa integrasi sosial masyarakat tidak akan pernah
terwujud tanpa hukum. Solidaritas antara warga bangsa tidak cukup kuat menjamin
pemecahan konflik dalam masyarakat secara damai. Sedangkan mekanisme integrasi
sosialnya, yakni uang dan kekuasaan tidak menjamin dalam jangka panjang, karena
ia masih memerlukan legitimasi tambahan. Dengan adanya hukum masalah integrasi
bisa diselesaikan, juga meringankan beban diskursus dalam masyarakat.
Namun hukum
tidak secara otomatis menjalankan fungsinya itu. Bagi Habermas hukum modern
merupakan sarana integrasi sosial yang sangat ambigu. Karena ia rentan
terhadap pengaruh segala macam lobby. Agar hukum dapat menjalankan
fungsinya, hukum harus legitimate
dalam pandangan masyarakat. ”Demokrasi deliberatif” adalah
demokrasi dimana legitimasi hukum tercapai karena hukum lahir dari
diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil.[16]
Dalam demokrasi deliberatif perundangan
dipengaruhi oleh diskursus-diskursus liar yang terjadi dalam masyarakat. Di
samping kekuasaan administratif (negara) kekuasaan ekonomis
(uang) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik
masyarakat sipil atau yang dikenal juga dengan ”ruang publik politik”.[17]
Bagi
Habermas konsepsi demokrasi deliberatif hanya dapat diwujudkan dalam
masyarakat yang memiliki budaya demokratis yang bebas dan beradab serta
bersedia belajar. Demokrasi deliberatif merupakan utopi nyata masyarakat plural
yang melalui komunikasi intesif antara
semua bagian secara terus-menerus demi tercapainya kehidupan bersama yang adil
dan berdamai.
G.
Penutup
Demikian,
uraian mengenai pokok-pokok pemikiran filsafat Jürgen Habermas, yakni: teori
kritis, pengetahuan dan kepentingan, rasionalitas komunikatif, etika diskursus, dan demokrasi deliberatif. Namun satu
catatan penting bahwa inti dari seluruh pemikiran Habermas ialah menyelamatkan
warisan Pencerahan yang terpenting: komitmen pada rasionalitas.
Menurut
hemat penulis, pemikiran Habermas merupakan salah satu contoh yang paling tepat
sumbangsih filsafat bagi perkembangan dunia kontemporer yang bertolak dari
persoalan nyata dunia kekinian kita. Sesuai dengan slogan Franz Magnis
Suseno:..berfilsafat dari konteks..[18]
Daftar Pustaka
Adorno, Theodor We.a., The
Positivist Desput in German. New York .
Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman.
Gramedia, Jakarta .
Blackburn,Simon. 1994. The Oxford
Dictionary of Philosophy. Oxford
University Press, Oxford -New York .
Habermas. Jürgen. 1989. The
Structural Transformation of The Public
Sphere. Polity Press, Massachussett.
Ritzer, George dan Douglas
J. Goodma. 2004. Teori Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), Prenada, Jakarta .
Suseno, Franz Magnis. 1992. Berfilsafat dari Konteks. Gramedia, Jakarta.
____________,. 2002. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Kanisius, Yogyakarta .
____________, “75 Tahun
Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12 Tahun ke-53, November
–Desember, Yogyakarta .
[1]
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta:
Gramedia: 1990), hlm. 236. lihat juga Simon Blackburn, The Oxford Dictionary
of Philosophy, (Oxford-New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 165.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. 238.
[5]
Ibid. hlm. 180.
[6]
Ibid. 182.
[7]
Terkait dengan perseteruan antara dua kubu tersebut, Popper mengkritik Habermas
sebagai berikut; “it is for reason such as these that I find it so difficult
to discuss any serious problem with Proesor Habermas. I am sure that he is
perfectly sincere. But I think he doesn’t know how to put thing simply,
clearly, and modestly, rather than impressively. Most of what he says semmto me
trivial; the rest to me mistaken..” lihat Theodor W. Adorno, e.a., The
Positivist Desput in German, (New
York :) hlm. 267.
[8]
Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12
Tahun ke-53, November –Desember 2004, Yogyakarta, hlm. 6.
[9] George Ritzer dan Douglas J. Goodma, Teori
Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), (Jakarta: Prenada, 2004), 185-186.
[10] Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen
Habermas...hlm. 6.
[11]
Ibid. hlm. 7.
[12]
Ibid. hlm. 8.
[13]
Ibid. hlm. 10
[14]
Ibid. hlm. 11
[15]
Ibid.
[16]
Ibid. hlm. 12.
[17]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of The Public Sphere, (Massachussett: Polity
Press, 1989), hlm. 57-79.
[18] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari
Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. xi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar