Kamis, 27 Juni 2013

JÜRGEN HABERMAS: DARI TEORI KRITIS SAMPAI DEMOKRASI DELIBERATIF


A.     Siapa Habermas?
Jürgen Habermas bukan saja seorang filsuf kontempoer yang paling terkenal di Jerman tetapi juga masyhur di dunia internasional. Tahun ini tepatnya, 18 Juni 2007, ia akan merayakan  hari ulang Tahunnya yang ke-78. Ia dilahirkan di Düsseldorf pada tahun 1929 dan dibesarkan di Gummersbach, sebuah kota kecil  di dekat Düsseldorf.[1]
Di universitas kota Göttingen ia mempelajari kesusastraan, sejarah, dan filsafat. Kemudian, dalam waktu yang singkat Zürich, ia meneruskan studi filsafat di pada universitas Bonn di tahun  1945 dan mendapatkan gelar ’doktor filsafat’  dengan sebuah disertasi yang berjudul Das Absolute und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah). Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan Institut Penelitian Sosial di Franfurt dan menjadi asisten Adorno. Dari kesaksian Habermas sendiri, ia mengakui kalau dirinya belajar sosiologi dari Adorno. Pada lembaga ini ia mengerjakan segi teoritis penelitian tentang sikap politik mahasiswa. Dan hasil penelitian itu dipublikasikan dalam buku Student und Politik (Mahasiswa dan Politik) pada tahun 1964.[2]
Sekitar tahun 1961-1964 ia diundang menjadi profesor di bidang filsafat di Heidelberg. Kemudian pada tahun 1964 ia kembali ke Universitas Frankfurt, karena diangkat menjadi profesor filsafat dan sosiologi, menggantikan Horkheimer. Pada tahun 1960-an Habermas sanganta populer dalam kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa kelompok dianggap sebagai ideolog mereka. Tetapi saat aksi-aksi mahasiswa mulai melewati batas dengan melakukan kekerasan, Habermas tidak segan mengkritik mereka. Lama-kelamaan ia tidak luput dari nasib yang sudah, menimpa seniornya di Mazhab Frankfurt (Horkheimer dan Adorno); ia mengalami konflik dengan mahasiswa. Pada tahun 1969, ia menerbitkan buku Protestbewegung und Hoshschulreform (Gerakan Oposisi dan Pembaharuan Perguruan Tinggi), merupakan evaluasi kritis tentang gerakan protes pada mahasiswa dalam tahun 1960-an; suatu buku yang menjadi best-seller  di Jerman. Pada tahun 1971 Habermas meninggalkan Frankfurt, dengan alasan bahwa ia tidak lagi merasa betah mengajar di universitas itu. Ia selanjutnya menerima tawaran menjadi direktur—bersama C.F. Weizsacker, seorang fisikawan dan filsuf—dari Max planck Institut  di Stanberg (sebuah tempat di dekat München), yang meneliti kondisi kehidupan dalam dunia ilmiah teknis.[3]
Begitulah beberapa catatan penting dalam perjalanan hidup Habermas—sebagai sosok pemikir yang notabene masih hidup sampai detik ini. Adapun beberapa karya beliau, antara lain: Student und Politik (1964), Theorie und Praxis (1963), Zur Logik der Sozialwissenschaften (1967), Technik und Wissenschaft als Ideologie (1968), Erkenntnis und interrese (1968), Theorie der Gesselschaft order Sozialtechnologie (1971), Between Fact and Norm (1992), Commnication and the Evolution of Society (1976), Moral Conciousness and Commnicatif Action (1983), The Theory of Commniative Action (1988), The Positivist Dispute in German Sosiology (1969), dan lain sebagainya.
Melukiskan perkembangan pemikiran Habermas,  maka tak bisa dipungkiri bahwa titik tolak seluruh pemikirannya berangkat dari teori kritis menuju teori masyarakat yang praksis. Orientasi tulisan ini, berusaha menggambarkan pemikiran Habermas secara menyeluruh, karenanya penulis akan mengetengahkan  beberapa key words (kata kunci) dari pemikiran filsafatnya, yaitu; teori kritis, pengetahuan dan kepentingan, rasionalitas komunikatif,  etika diskursus, dan  demokrasi deliberatif.  
  
B.     Teori Kritis: Titik Tolak Pemikiran Filsafat Habermas
Teori kritis ata filsafat kritis merupakan tradisi besar pemikiran yang mengambil ispirasinya pada karya intelektual Karl Marx. Ciri khas dari filsafat kritis ialah bahwa ia selalu berkatian erat dengan kritik terhadap hubungan sosial nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyrakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emasnsipasi. Yang khas dari pemikiran kritis ialah bahwa aliran-aliran yang ada sangat heterogen, setiap pemikir kritis memiliki kekhasannya sendiri. Yang mempersatukan mereka ialah kenyataan bahwa mereka sembari melajutkan pemikiran Marx secara kritis dan dogmatis, malah di sisi lain menolak apa yang disebut ”marxisme resmi”. Terlebih penolakan mereka terhadap ideologi komunis, Marxisme-Leninisme. Oleh sebab itu pula, aliran mereka dibenci dan dikutuk oleh kaum komunis,[4]
Teori kritis sendiri berkembang pesat pada tahun tiga puluhan abad ini, yang didukung oleh para pemikir Mazhab Frankfurt. Jürgen Habermas berkenalan dengan teori kritis pada tahun 1954, saat ia menjadi asisten Adorno. Ia menjadi pewaris sekaligus pembaharu dari teori kritis Mazhab Frankfurt. Teori kritis sendiri, dalam dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial mendakwa bahwa teori tradisonal—seluruh pemikiran di Barat semenjak Zaman Yunani sampai sekarang—kontemplatif dan afirmatif, karenanya bersifat ideologis.
Menurut rumusan Habermas sebuah teori kritis haruslah merefleksikan kaitan perkembangannya, maupun kaitan penggunaannya. Jadi, bukan tugas teori kritis untuk langsung mengritik secara asal, karena itu akan menjadikannya ajaran yang dogmatis. Yang akhirnya menjadikannya merosot kembali sebagai teori tradisonal, yaitu teori murni yang dihadapkan pada realitas—ini merupakan salah satu kritik Habermas terhadap Marx.[5]   
Teori Kritis didasarkan pada paham materialisme-historis. Pola pikir historis berarti bahwa realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat dipahami betul kalau dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Materialisme—sebagai paham yang berpandangan bahwa materi adalah satu-satunya realitas—di sini, dipahami bahwa sejarah penindasan itu terwujud dalam bidang produksi prasyarat-prasyarat material manusia, dalam bidang ekonomi.
Habermas mengatakan bahwa dirinya tetap terikat pada pendekatan ”materialisme-hisoris”, namun ia tidak lagi mengadaikan—sebagaimana dilakukan para pemikir teori kritis klasik, termasuk Marx di dalamnya—bahwa alat produksi dan sturktr-struktur kekuasaan ekonomis sebagai unsur yang paling menentukan. Karena baginya gerak sejarah, maju dan mundurnya, ditentukan oleh kondisi-kondisi kontigen konkret. [6]       

C.     Pengetahuan dan Kepentingan
Pada tahun 1961 Universitas Tübingen berhasil menghadapkan dua tokoh yang berlawanan dalam satu seminar, yakni Theodor W. Adorno  dan Karl R. Popper.[7] Persoalan yang diperdebatkan ialah seputar pengetahun; apakah ia bebas nilai atau tidak. Popper sebagai perumus prinsip falsifikasi menolak tuduhan bahwa individu seperti Plato, Hegel, dan Marx beranggapan bahwa sejarah memiliki hukum perkembangan atau tujuan objektif. Ia menuduh pandangan itu cenderung megorbankan manusia demi tercapainya ’tuntutan objektif sejarah’. Sedangkan Adorno sebaliknya berpendapat bahwa pendekatan yang ”bebas nila” itulah yang ideologis karena tidak menyadari bahwa ”objektivitas’’ itulah merupakan  layar asap kepentingan-kepentingan terselubung.[8]
Dalam hal ini, Habermas sepakat bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Namun ia tidak menerima anggapan awam sederhana bahwa ilmu pengetahuan mesti selalu melayani kepentingan kelas atas. Lalu, bagaimana sebenarnya hubungan antar pengetahuan dan kepentingan? Manusia mengetahui karena ia berkepentingan akan pengetahuan, karena itu ilmu pengetahuan  terwujud dari dalam oleh kepentingan. Menurut analisa Habermas, ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia: pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui. Kedua, ilmu historis-hermeneutis yang diarahkan oleh kepentingan ’praksis’ (dalam pengertian), yakni kepentingan untuk memahami makna. Ketiga, ilmu kritis (filsafat dan psikoanalisa), didorong oleh kepentingan emansipatoris, yakni kepentingan untuk membebaskan. Tiga kepentingan itu, bagi Habermas merupakan ”kuasi transendental” karena tidak bersifat empiris tetapi masuk dengan sendirinya kedalam struktur pengetahuan yang bersangkutan. Tiga kepentingan tersebut sejajar dengan tiga medan kehidupan manusia: alam, masyarakat, dan kekuasaan.[9]
Dan yang menarik ternyata Habermas tidak pernah kembali lagi pada tiga kepentingan ini. Kemungkinan karena ketiga kepentingan tersebut non-empiris sehingga tidak memiliki kegunaan dalam membuka hubungan kekuasaan spesifik dan tidak bisa dipakai membuka keterbelengguan ideologis.[10]         

D.    Rasionalitas Komunikatif: Dasar Tindakan Komunikatif
Menurut Habermas manusia memili dua rasionalitas dasar yaitu: rasionalitas sasaran dan rasioanlitas komunikatif. Bahasa merupakan tempat pengalaman rasionalitas. Berkaitan hubungan rasionalitas dan bahasa ia berpendapat; pertama, rasionalitas tertanam dalam struktur bahasa itu sendiri. Dalam sebuah komunikasi antara dua orang, terdapat empat klaim dalam idea setiap pembicara; bahwa pembicaraan itu bersifat jelas, benar, jujur, dan betul. Dari kenyataan ini, menegaskan bahwa meskipun komunikasi dalam kenyataan banyak yang gagal, namun setiap orang pada hakikatnya memiliki cita-cita akan komunikasi yang berhasil. Itulah yang disebut rasionalitas komunikatif.[11]
Kedua, orang belajar berkomunikasi secara rasional dengan terus-menerus mengambil sikap verbal terhadap empat wilayah pengalamannya: tentang alam luar ia belajar mengatakan apa yang sesuai dengannya; terhadap masyarakat ia belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya  sendiri diungkapkannya dengan jujur dan itu semua dilakukannya melalui sarana bahasa yang jelas. Begitulah manusia berkomunikasi.
Ketiga, rasionalitas individu selalu tertanam dalam rasionalitas masyarakatnya. Dalam perubahan sosial ia membedakan antara logika perkembangan dan dinamika perkembangan. Logika perkembangan menentukan kemajuan mana yang mungkin tercapai dalam dimensi rasionalitas. Sedangkan dinamika perkembangan menyangkut pertanyaan apakah suatu perubahan memang akan terjadi. Dinamika perkembangan bergantung dengan pengalaman-pengalaman kontigen masyarakat yang bersangkutan dan tidak dapat dipastikan secara apriori. Jadi,  apakah masyarakat mengalami perubahan itu bukan suatu hal yang pasti, sangat bergantung dari apa yang dialami oleh masyrakat itu. Satu catatan bahwa apabila ada perubahan dalam masyrakat, maka perubahan itu pasti ke arah rasionalitas lebih tinggi. [12]
Pengertian dan pemahaman di atas merupakan dasar dari teori tindakan komunikatif  yang dicita-citakan oleh Habermas.     
  
E.     Etika Diskursus
Etika diskursus bukalah sebuah pendasaran etika. Ia tidak menjawab mengapa kita harus bermoral. Ia tidak menghasilkan jawaban-jawaban siap pakai atas pertayaan-pertayaan moral. Ia merupakan metode untuk memastikan kembali arti norma-norma moral yang dipertanyakan. Etika diskursus ingin meminta jawaban atas pertanyaan ”apa yang adil?”. Pertanyaan tersebut, ialah salah satu pertanyaan yang sangat mendesak karena perubahan-perubahan mendalam atas kehidupan masyarakat 300 tahun terakhir ini, menjadikan jawaban-jawaban klasik tidak bisa dipakai lagi. [13]
Dalam masyarakat yang homogen pertanyaan tentang apa yang adil tidak bisa dijawab dengan mengacu pada tradisi moral dan agama.  Apalagi pada masyarakat sekarang yang cenderung lebih plural dan heterogen, dalam suatu komunitas yang sama pertanyaan moral sering dijawab secara berbeda, terlebih pada komunitas yang berbeda. Itulah situasi etika diskursus, yang merupakan sebuah proses yang sudah lama berlangsung. Pandangan Habermas tersebut bertolak dari gagasan Kant, yang mengatakan bahwa etika bukan untuk menetapkan sederetan norma moral, melainkan untuk mengkaji pertimbangan-pertimbangan moral yang nyata-nyata dilakukan oleh masyrakat, apakah secara moral memadai. Namun ia menyangkal bahwa kesadaran individu dapat menjadi individu berlaku universal sebuah norma moral. Menurut Habermas, apakah norma moral dapat berlaku secara universal hanya dapat dipastikan dalam diskursus dimana setiap individu dan kelompok yang bersangkutan terlibat. Itulah inti dari etika diskursus.[14]
Jadi, etika diskursus ini merupakan jalan keluar saat jawaban-jawaban tradisional tak lagi diterima begitu saja. Untuk memastikan kembali hakikat dari keadilan, semua yang bersangkutan harus sama-sama membahasnya. Dalam rumusan Habermas, sebuah norma hanya boleh dianggap sah jikalau ’akibat’ atau ’efek’ yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja, andai kata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua. Cara memastikan syarat ini adalah diskursus, sebuah perbincangan bersama di mana semua orang yang bersangkutan boleh ikut, tanpa tekanan dan paksaan apa pun. Maka prinsip diskursus menyatakan bahwa hanya norma-norma tindakan yang dapat disetujui oleh semua yang bersangkutan boleh dianggap sah demi kepentingan bersama. Karenanya sifat diskursus ini mengharuskan sikap bebas pamrih.
Habermas menyadari bahwa realitas sebuah diskursus tidak pernah ’ideal’ melainkan akan selalu ada bermacam-macam tekanan dan para partisipannya pun sulit untuk melepaskan diri dari pamrih. Namun  demikian, etika diskursus tetap memiliki arti praktis besar. Dalam situasi pluralisme kultural, tidak cukup kita hanya mengadakan kompromi pragmatis dalam menata kehidupan bersama. Perdamaian dan kesejahteraan akan semakin terwujud nyata, apabila semua pihak bisa menerima tatanan politik, ekonomi dan sosial  bersama sebagai suatu yang adil. Di sinilah, peranan etika diskursus sebagai metode dibutuhkan untuk mencapai konsensus moral.[15]   

F.     Demokrasi Deliberatif
Habermas menerapkan etika diskursus pada wilayah politik. Wilayah politik, di satu pihak ditentukan oleh faktisitas hukum, di pihak lain ada tuntutan bahwa hukum secara moral sah. Selalu ada ketegangan atau antinomi nilai, antara positivisme hukum yang menyatakan bahwa hukum positif harus ditaati, karena ia dengan sendirinya sah. Dan hukum kodrat yang menyatakan bahwa hukum yang secara moral tidak bisa dipertanggungjwabkan kehilangan daya ikatnya. Dalam hal ini, Habermas menegaskan bahwa integrasi sosial masyarakat tidak akan pernah terwujud tanpa hukum. Solidaritas antara warga bangsa tidak cukup kuat menjamin pemecahan konflik dalam masyarakat secara damai. Sedangkan mekanisme integrasi sosialnya, yakni uang dan kekuasaan tidak menjamin dalam jangka panjang, karena ia masih memerlukan legitimasi tambahan. Dengan adanya hukum masalah integrasi bisa diselesaikan, juga meringankan beban diskursus dalam masyarakat.
Namun hukum tidak secara otomatis menjalankan fungsinya itu. Bagi Habermas hukum modern merupakan sarana integrasi sosial yang sangat ambigu. Karena ia rentan terhadap pengaruh segala macam lobby. Agar hukum dapat menjalankan fungsinya, hukum harus legitimate  dalam pandangan masyarakat. ”Demokrasi deliberatif” adalah demokrasi dimana legitimasi hukum tercapai karena hukum lahir dari diskursus-diskursus dalam masyarakat sipil.[16] Dalam demokrasi deliberatif  perundangan dipengaruhi oleh diskursus-diskursus liar yang terjadi dalam masyarakat. Di samping kekuasaan administratif (negara) kekuasaan ekonomis (uang) terbentuk suatu kekuasaan komunikatif  melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil atau yang dikenal juga dengan ”ruang publik politik”.[17]
Bagi Habermas konsepsi demokrasi deliberatif hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat yang memiliki budaya demokratis yang bebas dan beradab serta bersedia belajar. Demokrasi deliberatif merupakan utopi nyata masyarakat plural yang melalui komunikasi intesif  antara semua bagian secara terus-menerus demi tercapainya kehidupan bersama yang adil dan berdamai.  

G.    Penutup
Demikian, uraian mengenai pokok-pokok pemikiran filsafat Jürgen Habermas, yakni: teori kritis, pengetahuan dan kepentingan, rasionalitas komunikatif,  etika diskursus, dan  demokrasi deliberatif. Namun satu catatan penting bahwa inti dari seluruh pemikiran Habermas ialah menyelamatkan warisan Pencerahan yang terpenting: komitmen pada rasionalitas.
Menurut hemat penulis, pemikiran Habermas merupakan salah satu contoh yang paling tepat sumbangsih filsafat bagi perkembangan dunia kontemporer yang bertolak dari persoalan nyata dunia kekinian kita. Sesuai dengan slogan Franz Magnis Suseno:..berfilsafat dari konteks..[18]

Daftar Pustaka

Adorno, Theodor We.a., The Positivist Desput in German.  New York.

Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Gramedia, Jakarta.
Blackburn,Simon. 1994.  The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford University Press, Oxford-New York.

Habermas. Jürgen. 1989. The Structural Transformation of  The Public Sphere. Polity Press, Massachussett.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodma. 2004. Teori Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), Prenada, Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1992.  Berfilsafat dari Konteks. Gramedia, Jakarta.
____________,. 2002.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Kanisius, Yogyakarta.
____________, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12 Tahun ke-53, November –Desember, Yogyakarta.



[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia: 1990), hlm. 236. lihat juga Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford-New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 165.
[2] Ibid.
[3] Ibid. 238.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2002 ), hlm. 177.
[5] Ibid. hlm. 180.
[6] Ibid. 182.
[7] Terkait dengan perseteruan antara dua kubu tersebut, Popper mengkritik Habermas sebagai berikut; “it is for reason such as these that I find it so difficult to discuss any serious problem with Proesor Habermas. I am sure that he is perfectly sincere. But I think he doesn’t know how to put thing simply, clearly, and modestly, rather than impressively. Most of what he says semmto me trivial; the rest to me mistaken..” lihat Theodor W. Adorno, e.a., The Positivist Desput in German, (New York:) hlm. 267.

[8] Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis, nomor 11-12 Tahun ke-53, November –Desember 2004, Yogyakarta,  hlm. 6.

[9] George Ritzer dan Douglas J. Goodma, Teori Sosiologi Modern, Triwibowo (edit), (Jakarta: Prenada, 2004), 185-186.

[10] Franz Magnis Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas...hlm. 6.   

[11] Ibid. hlm. 7.

[12] Ibid. hlm. 8.

[13] Ibid. hlm. 10

[14] Ibid. hlm. 11
[15] Ibid.

[16] Ibid. hlm. 12.

[17] Jürgen Habermas, The Structural Transformation of  The Public Sphere, (Massachussett: Polity Press, 1989), hlm. 57-79.

[18] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. xi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar