A.
Pendahuluan
Dahulu, dengan pelbagai apa yang dicapai oleh
manusia melalui keistimewaanya, orang menjadi yakin untuk menyebut manusia
sebagai homo sapiens. Seiring dengan berlalunya waktu, kita lalu
menyadari bahwa ternyata kita tidak cukup bijak seperti yang diduga pada abad
ke-18—yakni dengan pemujaan pada akal dan optimisme yang naif. Karena itulah,
akhirnya dunia modern mendeskripsikan spesies kita sebagai homo faber (Manusia
Pekerja). Meskipun faber tak terlalu meragukan dibandingkan dengan sapiens,
namun menyebut makhluk manusia secara spesifik dengan istilah tersebut,
nampaknya kurang tepat mengingat hewan juga pekerja. Sebutan yang lain, untuk
spesies manusia yakni homo ludens, yang berarti makhluk yang bermain, yang sama kedudukan urgen dalam kehidupan manusia selain sebagai
makhluk yang berfikir dan bekerja.[1]
Namun sayangnya, setiap definisi tentang manusia,
selalu tidak lengkap dan sempurna. Justeru mungkin karena alasan itu dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk yang bertanya, dia selalu bertanya
tentang hakikat dirinya. “Siapa Aku?”, adalah
pertanyaan klasik, namun ia tetap
bersifat up to date dan selalu relevan untuk ditanyakan sepanjang
sejarah manusia. Manusia ketika menginjak remaja, akan mengalami dirinya
sebagai pribadi dan memiliki keinginan untuk mengetahui hakikat dirinya.
Karenanya Socrates dalam Nubuat Delpinya berkata: “Kenalilah dirimu
sendiri”[2].Upaya menjawab hakikat
identitas manusia telah banyak dilakukan, ada yang mengatakan identitas
personal manusia itu bersifat mental dan spiritual, yang lainnya beranggapan
bahwa esensi pribadi manusia bersifat biologis, bahkan sebagian orang
menegaskan bahwa identitas pribadi manusia itu hanya sebuah ilusi. [3]
Pertanyaannya sekarang, sudahkah manusia
menemukan jati dirinya? Pertanyaan sangat sulit untuk dijawab secara tegas. Harus
kita akui bahwa perkembangan yang telah dicapai oleh manusia dengan
kecerdasannya sangat pesat, sehingga menciptakan kehidupan terasa sangat
mengasyikkan, penuh harapan, membawa selaksa janji, dan sekaligus tantangan. Namun,
kondisi dan situasi ini tidak sepenuhnya membawa dampak kehidupan yang damai
dan tentram. Manusialah yang menciptakan situasi ini, namun sekarang ciptaannya
itu telah menjadi begitu kuat, seolah menjadi monster yang mengancam
penciptanya.[4]
Misalnya, dalam konteks dunia global masa kini, adanya fenomena “pemanasan global”
(global warming) sebagai akibat gas pembuangan dari industri-industri
dan emisi penggunaan bahan bakar fosil yang mengandung karbodioksida, membawa
efek “rumah kaca”, telah melahirkan perubahan cuaca (climate change) di
bumi, ditambah oleh pembalakan liar (illegal logging) yang membuat
hutan-hutan gundul, yang akhirnya hampir pasti disusul dengan pelbagai bencana
alam di pelbagai belahan dunia—tak terkecuali di Indonesia.[5] Juga, pelbagai kasus
peperangan yang selalu memakan korban, seakan menegaskan tesis Thomas Hobbes
bahwa watak dasar manusia itu bersaing, agresif, loba, anti sosial, dan
bersifat kebinatangan.[6] Karenanya dia mengumandangkan
jargon “homo homini lupus”.
Fakta-fakta di atas semakin memberikan afirmasi
bahwa telaah tentang manusia masih merupakan condition sine qua non, karenanya
pertanyaan seputar apa dan siapakah sebenarnya manusia tak pernah lapuk oleh
zaman. Terlebih menanyakan makna serta kemungkinan tertinggi kehidupan manusia,
yang berarti juga mempertanyakan apa yang harus dilakukan oleh manusia. Termasuk
juga di dalamnya, pertanyaan tentang tujuan “ultim” dari manusia. [7] Pada konteks inilah arti
penting filsafat manusia.
Bertolak dari deskripsi di atas, tulisan ini ingin
mengangkat pandangan tentang manusia menurut salah satu filsuf yang terkenal
yakni Friedrich Nietzsche. Ia masyhur dengan jargon
yang sangat fenomenal yakni slogan "Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott
ist tot"). Warta tentang kematian Tuhan yang disyiarkan oleh
Nietzsche, telah direspon tidak simpati
oleh sebagian besar pemeluk agama, terlebih para agamawan dan teolog. Misalnya,
Henry De Lubac pada Tahun 1945, menulis buku berjudul “Das Drama de
Atheistischen Humanismus” (Drama Humanisme Ateis). De Lubac mengecam
perrnyataan Nietzsche tentang ”Tuhan Sudah Mati”, menurutnya pernyataan itu
adalah sebuah kategori humanisme, yang menghancurkan diri manusia sendiri,
serta merupakan sebuah rumusan ateistik yang menebas derajat dan nilai manusia
sampai ke akar-akarnya.[8]
Namun, berita kematian Tuhan yang diwartakan oleh
Nietzsche tersebut, juga memiliki pendukungnya
sendiri. Sebuah laporan utama majalah Time (8 April 1966) tentang agama di Amerika bertanya "Apakah Tuhan sudah mati?"
Terbitan ini kemudian menjadi salah satu edisi ”Time” yang paling
kontroversial. Sampul majalah Time 8 April 1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika
yang muncul pada tahun 1960-an, dikenal sebagai "kematian Tuhan".
Gerakan Kematian Tuhan kadang-kadang secara teknis disebut sebagai
"teotanatologi."Tokoh penganjur utama teologi ini termasuk para
teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J. J.
Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein.[9]
Berdasarkan latar belakang (back
ground) di atas, tulisan ini ingin menelaah lebih lanjut bangunan
pemikiran Nietzsche, yakni tentang manusia dan pembelaanya terhadap humanitas
meskipun harus melakukan pembunuhan terhadap Tuhan dengan jargon "Gott
ist tot".
B.
Riwayat Hidup Nietzsche
Setiap pemikiran filsuf dikaitkan erat
dengan riwayat hidupnya, terlebih pada sosok
Nietzsche. Seorang filsuf yang
dikabarkan menderita kegilaan pada periode akhir menjelang ia meninggal,
ditandai dengan berbagai petualangan dan kesepian yang memberikan karakter kuat
pada corak pemikirannya secara keseluruhan. Oleh karena itu hampir mustahil
bagi kita memahami gagasan filosofis Nietzsche tanpa terlebih dahulu meneropong
lebih dekat latar belakang kehidupannya.
Jika menelaah lebih mendalam latar
belakang keluarganya, terasa mengherankan bahwa filsuf yang terkenal
kontroversial, radikal, dan ateistik, ternyata sangat bertentangan dengan akar
tradisi keluarganya. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862), merupakan
pejabat penting dalam Gereja Lutheran, posisinya disejajarkan dengan seorang
uskup dalam Gereja Katolik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849),
merupakan pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen. Sedangkan ibunya, ialah Franziska Oehler
(1826-1879), juga merupakan seorang Lutheran yang berasal dari keluarga
pendeta. Sikap Franziska sering bertentangan dengan Nietzsche, namun tragisnya,
dialah orang yang paling dekat dengan Nietzsche. [10]
Nietzsche lahir di Rochen pada 15
Oktober 1844. Hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Raja Prusia saat
itu, Friedrich Wilhelm. Karenanya, sang ayah memberi nama baptis Friedrich pada
bayinya. Saat yang paling membahagiakan bagi Nietzsche, ialah kurun waktu
kebersamaanya dengan sang ayah. Namun fase bahagia itu, nampak terlalu singkat
karena di usia Nietzsche menginjak empat tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras
dan meninggal tahun 1849.
Menjelang usia enam tahun ia masuk
sekolah Gymnasium. Di sekolah ini ia mulai mengenal karya-karya Goethe
dan Wagner. Karena perkenalnya pertama dengan sastra dan musik, dia merasa
bahwa dia cukup memiliki bakat dalam dua bidang, dan itu ia buktikan pada tahap
perkembangan selanjutnya.
Pada umur empat belas tahun Nietzsche pindah ke Pforta,
sebuah sekolah yang para siswanya yang di asramakan. Di sekolah tersebut,
Nietzsche belajar Bahasa Yunani, Latin, dan Hibrani—bahasa yang disebutkan
terakhir diakui olehnya terlalu sulit sehingga ia gagal mengusainya, yang
merupakan bekal berharga yang akan mengantarkannya menjadi seorang filolog
brilian. Di situ pulalah, ia mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani.
Ia bersama teman-temannya membentuk kelompok sastra yang diberi nama Germania.
Pada Oktober 1864 Nietzsche melanjutkan
studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Pada bidang
filologi, ia menjadi mahasiswa Fiedrich Ritschl. Di tahun 1865 ia memutuskan
untuk tidak belajar teologi lagi. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan
Nietzsche yang mulai pudar semenjak ia masih tinggal di Pforta. Ia masih
belajar teologi sampai saat ia mengambil keputusaan itu, karena kecintaannya yang
begitu besar terhadap kedua orang tuanya yang menginginkan agar Nietzsche
menjadi penerus profesi ayahnya sebagai pendeta. Langkah Nietzsche tersebut
mendapat perlawanan keras ibunya, Franziska. Di antara keduanya pernah terlibat
diskusi melalui surat tentang hal ini, dalam salah satu Suratnya Nietzsche
menulis: ”Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka:
percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka: carilah...![11]
Di Bonn Nietzsche tidak bertahan lama,
ia belajar hanya dua semester. Pada pertengahan 1865 ia pindah ke Leipzig untuk
belajar filologi selama empat semester. Di sini ia menyelesaikan tulisan
pertamanya dalam bidang filologi yaitu De Theognide Megarensis (Silsilah
Para Dewa Megara). Di Leipzig, ia berkenalan dengan pemikiran Schoupenhauer
(1788-1860) dengan membaca buku Die Welt als Wille und Vors-tellung (The
Worlds as Will and Idea, Dunia sebagai Kehendak dan Ide, 1819). Buku lain
yang juga memperngaruhi pemikiran Nietzsche ialah buku karangan seorang
neo-Kantian, Friedrich Albert Lange
(1828-1975), yang berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seiner
Bedeutung in der Gegenwart (Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya
pada Zaman Sekarang). Buku yang petama merupakan pandangan Schoupenhauer
tentang manusia. sedangkan yang kedua, merupakan antologi yang memuat tema-tema
materialisme etis dan teori Darwin.
Pada 1867-1868 terjadi perang antara
Jerman dan Perancis. Saat itu Nietzche menjalani dinas militer, ia
mengalami berbagai pengalaman tragis sebagaimana terjadi dalam perang. Hal itu
membuat Nietzsche terguncang dan bimbang antara melajutkan studi dalam bidang
filologi atau pindah pada studi lain. Karena ia merasa bahwa belajar filologi
itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang lebih menarik untuk hidup.
Pada tahun itu Nietzsche bertemu dengan Richard Wagner, seorang musikus Jerman.
Dari perjumpaan dengan Wagner ia mengambil kesimpulan bahwa kebebasan dan karya
jenius itu masih bisa dicapai melalui spirit musik wagner.
Pada tahun 1869 Nietzsche mendapat
panggilan dari Universtas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen. Di Basel ia
mengajar mata kuliah filologi dan bahasa Yunani. Ia memutuskan untuk berhenti
mengajar pada tahun 1879 karena kesehatannya memburuk. Di akhir-akhir masa kariernya sebagai dosen ia banyak
menulis buku yakni antara lain: Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der
Musik (The Birth of Tragedy out of The Spirit of Music, lahirnya tragedi
dari Semangat Musik), 1872; Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely
Medition, Permenungan yang Terlalu Awal) 1873 dan 1876; Menschliches,
Allzumenschliches (Human, All-Too—Human) 1878; serta pada tahun
1879, ia menulis dua buku yakni Vermischte Meinungen und Spruche (Mixed
Opions and Maxims; Kumpulan Gagasan dan Pepatah), dan Der wanderer und
Sein Schatten (The Wander and His Shadow, Petualang dan Bayang-bayangnya).[12]
Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879,
kehidupan Nietzsche diwarnai oleh kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak
menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggungjawab
sosial. Dalam masa pengembaraan ini, ia sering berpindah-pindah tempat di
beberapa kota di Italia dan Swiss. Ia sering ditemani oleh Elisabeth
(saudarinya), Lou Salome, dan Paul Ree. Ia pernah merencanakan menikahi Lou
Salome, seorang novelis cantik, menyenangkan, dan cerdas yang pernah dikenal
oleh Nietzsche. Lou menerima lamaran Nietzsche, asal dia juga
diperbolehkan menikahi Paul Ree. Namun ibu dan saudarinya, berang dan menolak
rencana yang menurut mereka ”immoral, hal itu membuat kesehatan Nietzsche
semakin buruk sehingga mendorongnya untuk hidup sendirian sampai akhir
hidupnya.
Pada fase ini, Nietzsche banyak menulis
karya-karya monumental. Ada pun karya-karya tersebut antara lain; Die
Morgenrote, Gedanken uber die Moralischen Vorurteile (Fajar, Gagasan-gagasan
tentang Praanggapan Moral) 1881; Die frohliche Wissenschaft (“la gaya scienza)
(Ilmu yang mengasyikkan) 1882—dalam buku ini Nietzsche pertama kali
memproklamirkan bahwa “Tuhan telah mati” (God ist tot); Also Sprach
Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra) 1885; Jenseits von Gut und Bose:
Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Di Seberang Baik dan Jahat: Pengantar
untuk Filsafat Masa Depan) 1886; Zur Genealogie der Moral: Eine Streitschrift
(Tentang Asal Usul Moral: Suatu Polemik) 1887.
Pada tahun 1888, merupakan masa paling
produktif Nietzsche dalam menulis buku, akan tetapi hanya ada satu buku yang
sempat diterbitkan ialah Der Fall Wagner: Ein Musikan-ten-Problem (Kasus
Wagner: Persoalan Musikus). Sedangkan karya-karya yang belum diterbitkan pada
tahun ini adalah Die Gotzen-Dammerung (Pudarnya Para Dewa) terbit tahun 1889;
Der Antichrist (Antikristus) terbit tahun 1895; dan Ecce Homo (Lihatlah
Manusia) diterbitkan tahun 1908.[13]
Tahun 1889, Nietzsche mengalami sakit
jiwa. Franz Overbeck—salah seorang sahabatnya—membawa Nietzsche ke klinik
Universitas Basel. Seminggu kemudian dipindahkan ke klinik Universitas Jena.
Namun, hampir seluruh usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah
dapat sembuh sama sekali. Pada tahun 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke
Naumburg dan dirawat oleh ibunya sendiri. Tiga tahun
kemudian Elisabeth datang dari Paraguay, karena suaminya, Foster , bunuh diri
pada 1889. Bersama dengan ibunya, Elisabeth merawat Nietzsche yang semakin
rapuh. Pada 20 April 1897 sang ibu meninggal. Karenanya, Elisabeth memindahkan
Nietzsche ke Weimar. Dan di sana ia meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900.
Saat-saat terakhir hidupnya, keadaan Nietzsche sangat tragis, selama dua tahun
terakhir masa hidupnya ia tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak bisa
berpikir lagi. Bahkan, ia tidak tahu kalau ibunya meninggal dan tidak mengerti
kalau dirinya mulai masyhur.[14]
C.
Pokok-Pokok Pemikiran Filosofis
Nietzsche
“Tak ada fakta, yang ada hanya tafsir”,
begitu ungkapan Nietzsche berkaitan dengan kebenaran dan pengetahuan.
Berbanding lurus dengan hal itu, menafsirkan pandangan manusia a la Nietzsche,
akan mengalami reduksi tanpa melihat peta pemikiran Nietzsche secara
menyeluruh. Adapun ajaran pokok Nietzsche yakni: nihilisme, Übermensch
(adi manusia), wille zur Macht (The will to Power, Kehendak untuk
Berkuasa), dan die ewige widerkehr des gleichen (the eternal recurence
of the same).
1)
Nihilisme
Nihilisme secara etimologis berasal dari nihil (Latin)
yang berarti ”tidak ada”, atau lebih tepatnya ketiadaan. Sedangkan secara
terminologis, berarti penyangkalan skeptis terhadapa semua yang diagggap
sebagai real atau tidak real, pengetahuan atau kekeliruan, ada atau tiada,
ilusi atau non-ilusi; penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan.[15]
Nililisme bagi Nietzsche merupakan sebuah renungan
tentang krisis kebudayaan, yakni kebudayaan Eropa. Nietzsche meramalkan
kedatangan nihilisme, [16]
yakni proses memudarnya nilai dan makna menuju keruntuhan. Nihilisme tersebut
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, yang meliputi bidang keagamaan dan
pengetahuan. [17]
Dalam konteks ini, Nietzsche dengan pemikirannya bisa
dikatakan sebagai figur yang mempercepat proses nihilisme secara mendasar, dan
berusaha mengatasinya dengan mengatakan ”Ya” pada nihilisme. Untuk
menggambarkan pudarnya setiap kepastian Nietzsche berseru: ”Tuhan sudah mati!
Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya”.[18] Singkatnya, paradigma
seluruh krisis adalah ”Tuhan sudah mati”, untuk merumuskan keruntuhan jaminan
hidup manusia. Warta tentang kematian Tuhan, selanjutnya akan penulis kupas
secara tajam pada bab lain.
2)
Kehendak untuk Berkuasa (wille zur Macht, the will to power)
Gagasan kehendak untuk berkuasa merupakan ide Nietzsche yang sering
diasosiasikan dengan dunia politik. Interpretasi ini, terjadi karena
Elisabeth—saudari kandung Nietzsche—dan Baumler[19] berhasil menyakinkan
bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa Nietzsche mengandung provokasi politik. Namun,
jika diteliti dari karya-karya Nietzsche, dia tidak pernah memperlihatkan diri
sebagai seorang filsuf politik atau sosial. Melainkan, filsafatnya sangat dekat
dengan gaya hidupnya sendiri, yang meliputi; individualisme, vitalisme,
voluntarisme, dan eksistensialisme. Sukar untuk membayangkan bahwa Nietzsche
mengidealisasikan kehendak untuk berkuasa dalam lembaga yang disebut
’negara’. Sebaliknya, negara baginya justru merupakan penghambat kebebasan
untuk merealisasikan diri.[20]
Lalu apa
sebenarnya apa maksud dari the will of power bagi Nietzsche? Bagi Nietzsche kehendak untuk berkuasa merupakan
hakikat dari dunia, hidup, dan ada. Jadi, kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari segala-galanya.[21] Dalam
konteks ini, ia menolak untuk bertanya; apa itu…? karena pertanyaan ini
menuntut jawaban tentang pengetahuan hakiki yang dipertanyakan. Sedangkan, yang
hakiki sifatnya tetap, selalu sama dan tak berubah. Bagi Nietzsche pertanyaan
”apa?”, merupakan pertanyaan kaum metafisis. Mereka seolah dapat membaca dunia
sebagaimana adanya. Padahal, menurut Nietzsche, setiap aktivitas bertanya
merupakan secara filosofis ialah tindakan interpretasi terhadap dunia (world-hermeneutics).
Dari kegiatan ini, kita memperoleh makna dan arti dari apa yang ditanyakan,
di balik kebenaran keduanya, tak ada
yang berarti dan bermakna.[22]
Nietzsche menolak pandangan dualistik terhadap dunia, karenanya ia menegasikan
keberadaan dunia sejati yang dipahami oleh Schopenhauer atau dunia ide Plato,
atau das ding and sichnya Kant. Baginya, dunia fenomenal yang
berubah-ubah adalah satu-satunya dunia, sebagai kenyataan sejati. Karenanya, fenomena
tidak ada realitas di balik fenomena. Fenomena harus dipahami sebagai proses
interpretasi. Fenomena tersebut merupakan perwujudan yang paling jelas dari
khaos (chaos), dan bukan dari
kosmos atau sebuah sistem. Dan manifestasi ini selalu berada dalam proses.[23]
Selaras paradigma di atas, kehendak (will) dan kuasa atau kekuatan (power) dalam kehendak
untuk berkuasa, bukan merupakan substansi metafisik, tetapi merupakan
gejala yang sifatnya plural, yang muncul karena perbedaan kuasa atau kekuatan (power).
Perbedaan ini terjadi karena sifat azali dari power yang selalu
mengatasi dirinya. Catatan yang lain, bagi Nietzsche kehendak untuk berkuasa
tidak dikaitkan dengan subyek.
Singkatnya, kehendak untuk berkuasa merupakan
hakikat dari dunia, hidup, dan ada, yyang bermakna bahwa dasar dari segala
sesuatu merupakan dinamisme yang masih berada dalam status khaos. Gagasan ini,
tidak terlepas dari nihilistik sebelumnya yang meruntuhkan setiap bentuk
jaminan kemapanan termasuk Tuhan.
3)
Adi Manusia (Übermensch)
Konsep Übermensch merupakan keberlanjutan dari
gagasan Nietzsche terdahulu, yakni nihilisme dan kehendak untuk berkuasa. Übermensch
merupakan jawaban bagi pertanyaan ”apa tujuan manusia?”. Nietzsche menolak
anggapan bahwa bertindak secara moral ialah bertindak sesuai dengan tataan
dunia moral. Setiap bentuk determinisme obyektif yang mendahului tindakan
manusia harus ditolak.
Dalam konteks ini, Nietzsche menganggap bahwa agama
Kristen telah merendahkan manusia dengan dalih kebahagiaan kekal dan
abadi. Baginya, tujuan itu ilusi, yang membuat orang ”menolak dan membelakangi
hidup yang sebenarnya”. Sebaliknya, seharusnya manusia mengejar alternatif lain
sebagai tujuan, yang tak lain ialah Übermensch. Übermensch mengarahkan manusia berupaya untuk kerasan di
dunia, dan tidak lagi ”mengarahkan anak panahnya ke langit. Karena setiap
jaminan telah runtuh termasuk Tuhan sudah mati. Tujuan manusia ialah Übermensch
sebagai makna dunia itu sendiri. [24] Dalam hal ini Nietzsche
melalui tokoh Zarathustra berkata:
Lihatlah,
aku mengajarkan Übermensch kepadamu!
Übermensch
adalah
makna dunia ini.
Biarkanlah
kehendakmu berseru:
Hendaknya Übermensch
menjadi makna dunia ini.
Aku mengingatkan
kepadamu, saudsara-saudarku,
Tetaplah
percaya pada dunia dasn jangan percaya mereka
Yang
berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini
adalah para pengracun, entah mereka tahu atau tidak.[25]
Istilah Übermensch
dalam bahasa Jerman terdiri dari dua kata bentukan uber berarti ”di atas”, dan mensch berarti ”manusia”. Dalam transliterasi Übermensch
dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan superman atau overman---kedua
istilah tersebut masih merupakan kontroversi dalam penggunaannya karena tidak
sepenuhnya mewakili makna Übermensch yang dimasudkan oleh Nietzsche.[26]
Singkatnya, Übermensch bagi Nietzsche merupakan
makna terbesar dari dunia. Untuk
mencapai makna terbesar itu, manusia harus selalu menjadi jembatan menuju Übermensch.
Manusia akan menjadi jembatan menuju Übermensch, kalau seluruh
hidupnya dijiwai semangat kehendak untuk berkuasa. Artinya, manusia
harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya dan mengatur hidupnya
sedemikian rupa, sehingga bertambah pengalaman dan bertambah kekuasaannya.
4)
Kembalinya Segala Sesuatu (die ewige
widerkehr des gleichen, the eternal recurence of the same)
”Dunia ini ada; dunia bukan
merupakan sesuatu yang menjadi, bukan sesuatu yang berjalan. Atau dapat juga
dikatakan demikian: dunia ini menjadi, dunia ini berjalan, tetapi tidak pernah
mempunyai permulaan untuk menjadi dan tidak pernah berhenti berjalan. Dunia mempertahankan
dirinya dengan dua cara itu. Dunia hidup berdasarkan dirinya sendiri—sisa-sisa
tubuhnya menjadi makanannya.[27]
Begitulah ungkapan Nietzsche ketika menggambarkan dunia
sesuai dengan tesisnya, yakni kembalinya segala sesuatu. Tesis kembalinya
segala sesuatu merupakan afirmasi mutlak pada dunia. Dia berasumsi bahwa
segala peristiwa atau apa saja yang ada merupakan pengulangan dirinya. Pada
pengulangan ini tidak terjadi peristiwa penciptaan. Karenaya, bagi Nietzsche
dunia bersifat kekal dan abadi, ia menolak gagasan tentang proses awal
penciptaan dunia, sebagaimana ia juga tidak menyetujui tentang adanya akhir
dunia. Dunia bagi Nietzsche, tak berawal, tak berakhir, dan ada berdasarkan
dirinya sendiri.[28]
Tesis Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu, merupakan
penegasan terhadap gagasan nihilisme,
kehendak untuk berkuasa, dan Übermensch. Gagasan tentang kembalinya
segala sesuatu ialah puncak dan langkah pamungkas Nietzsche dalam
menegaskan dunia.[29] Dengan mengakui gagasan
ini manusia sanggup menyatakan bahwa dunia ini berjalan dari, untuk dan
berdasarkan dirinya sendiri. Singkatnya, dunia diterima sebagai
entitas yang kekal. Amor fati (cinta akan nasib) merupakan key world untuk menerima gagasan ini, sikap tersebut
tidak hanya membuat manusia menerima kembalinnya segala sesuatu, bahkan
lebih jauh membuat ide kembalinya segala sesuatu menjadi lebih indah.[30]
D.
Übermensch: Manusia Sempurna a la Nietzsche
1.
Zarathustra: Pembawa Nubuat tentang Übermensch
Dalam buku Human all too Human, Nietzsche berpendapat
bahwa para filsuf telah melakukan kealpaan yang kolektif, saat mereka memulai
melihat manusia sebagai “dia yang
sekarang” dan berfikir bahwa mereka bisa mencapai tujuan mereka dalam
menganalisa manusia. Mereka dengan tanpa sengaja berfikir tentang manusia
sebagai “an aeterna veritas” (sesuatu yang senantiasa benar), suatu yang
tetap konstan di tengah-tengah perubahan
yang terus menerus, serta sebagai ukuran pasti dari manusia. Sesungguhnya
setiap pandangan yang diajukan oleh para filsuf tentang manusia, pada dasarnya
hanya sebuah kesaksian (testimony) terhadap manusia pada periode waktu
yang sangat terbatas (the man of a
very limited period of time).[31]
Melalui tokoh Zarathustra Nietzsche
menyebarkan dokrinnya tentang Übermensch. dalam buku Thus Spoke
Zarathustra digambarkan bahwa meninggalkan rumah kediamannya pergi ke
sebuah bukit dalam rangka melaksanakan laku rohani. Beberapa tahun kemudian, dia memutuskan untuk
turun gunung dan membawa warta tentang kematian Tuhan. Orang yang pertama kali
bertemu dengan Zarathustra ialah seorang resi mengaku sangat mencintai Tuhan
dan membenci manusia yang serba tidak sempurna. setelah mereka berdialok
panjang lebar tentang pengalaman spiritual mereka. Di akhir, Zarathustra
membisikan kabar kepadanya bahwa Tuhan telah mati, namun sang resi tidak
mendengar apa yang dikatakan oleh Zarathustra.
Setelah Zarathustra sampai di kota ia bertemu
dengan kerumunan orang, pada mereka: “Aku mengajarkan Übermensch padamu. Manusia
adalah sesuatu yang harus di atasi. Apakah yang telah kalian lakukan utnuk
mengatasinya.” Begitulah Zarathustra mengawali ajaranya Übermensch pada
manusia.[32]
2.
Übermensch: Sebagai Makna Dunia
Bagi
Nietzsche kebutuhan yang paling mendesak ialah soal pemaknaan. Dia melihat
bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai detik ini telah
runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap
seolah-olah ada. Ia melalui tokoh Zarathustra, mengajarkan nilai tanpa jaminan
kepada semua orang. Adapun nilai itu ialah Übermensch. Übermensch merupakan
cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia. Sikap
ini, mencerminkan bahwa Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap
bentuk nilai adi kodrati yang diyakini oleh manusia.[33] Karenanya, melalui
Zarathustra, ia berseru:
Lihatlah, aku mengajarkan
Übermensch kepadamu!
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru:
Hendaknya Übermensch menjadi
makna dunia ini.
Aku mengingatkan kepadamu,
saudsara-saudarku,
Tetaplah percaya pada dunia dasn
jangan percaya mereka
Yang berbicara kepadamu tentang
harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini adalah para pengracun,
entah mereka tahu atau tidak.[34]
Übermensch di
sini merupakan pengganti Tuhan yang telah dibunuh. Übermensch
ialah tujuan manusia di kehidupan dunia. Übermensch adalah afirmasi
hidup tanpa memnyisakan sedikit pun negasi. Namun demikian, berpalingnya
manusia ke dunia belum menjamin bahwa dia mengafirmasikan hidup. Dengan kata
lain, ada syarat lain yang harus dipenuhi oleh manusia demi terciptanya Übermensch.
Adapun persyaratan tersebut ada pada pola hubungan antara manusia dan Übermensch.
3. Eksistensi Manusia: Antara Binatang dan Übermensch
Bagi Nietzsche, hidup adalah the will to
power. Dalam konteks ini manusia tidak lebih dari pada sebuah entitas atau
satuan kekuasaan yang terus menerus hendak
mengaktulisasikan diri melalui konflik. Dalam situasi dan kondisi inilah
manusia berada di dunia. Dia harus mengatasi diri sendiri terus menerus. [35]
Menjawab di mana kedudukan manusi di dunia, Nietzsche
melukiskan situasi manusia bagaikan tali yang terentang antara binatang dan Übermensch,
bagai tali yang melintasi jurang. Bagi Nietzsche, manusia bukalah
semata-mata produk alam sebagaimana yang diyakini oleh Darwin. Manusia memiliki
potensi untuk mengatahsi status kebinatangannya dan sekaligus mengarah pada Übermensch.
Kedudukan ini membuat manusia selalu dalam bahaya. Dia seolah-olah selalu dalam
keadaan menyebrangi jurang: maju ke depan berbahaya, menoleh ke belakang
berbahaya, berhenti pun berbahaya.[36]
Dalam keadaan seprti ini, Nietzsche terus
maju adalah merupakan opsi yang paling tepat, meskipun pilihan tersebut
menyebabkan manusia terjebak dalam situasi perang. Di lain pihak, Nietzsche
memandang bahwa kedudukan manusia sebagaimana digambarkan di atas, merupakan
simbol kebesarannya.
“kebesaran
manusia adalah bahwa ia merupakan jembatan dan bukan merupakan tujuan; yang
menyenangkan pada diri manusia ialah bahwa ia selalu ada dalam gerak ke depan
dan gerak ke belakang.”[37]
Pernyataan ini menunjukkan ciri manusia yang
bersifat transisional dalam arti sesungguhnya. Manusia adalah mkhluk
yang tak henti-hentinya menyebrang: dari binatang menuju Übermensch. Dengan
kata lain, ciri khas manusia ialah mengatasi status kebinatangganya sekaligus
menuju Übermensch. Menurut Nietzsche, manusia tidak dengan sendirinya
bergerak menuju Übermensch, kecuali kalau dapat mengatur naluri-naluri
hidupnya. Jadi, menurut Nietzsche Übermensch dapat terwujud melalui prinsip kehendak
untuk berkuasa (the will to power). Sebab prinsip ini pada dasarnya
merupakan prisnsip pengaturan hidup, sehingga orang merasa semakin berkuasa. Prinsip
inilah yang membedakan Übermensch dari tujuan hidup yang dipercayai oleh
orang-orang Kristen. Übermensch sebagai tujuan hidup diciptakan seciri
oleh manusia dan cara mewujudkannya pun sepenuhnya berdasarkan
kemampuan-kemampuan manusia. Singkatnya, Übermensche adalah cita-cita hidup yang
diciptakan dan dikejar oleh orang yang terus menerus diliputi oleh
semangat kehendak untuk berkuasa (the
will to power).[38]
Übermensch
bukalah transendensi baru, melainkan anta manusia dan Übermensche ada
hubungan langsung. Bagi orang yang sedang menuju Übermensch, perasaan
bersalah tidak relevan lagi,. Perasaan bersalah hanya dialami orang-orang dekaden.
Kategori salah dan benar diganti
dengan baik dan buruk. Dalam Anti Crist ia menjelaskan
baik adalah apa saja yang meningkatkan perasaan kehendak untuk berkuasa,
dan buruk berarti apa saja yang mersepsentasikan kelemahan. Sedangkan
bahagia adalah bertambahnya kekuasaan dan keberhasiolan mengatasi
hambatan.[39]
Untuk menghindari kesalahpahaman tentang Übermensch,
Nietzsche juga memperkenalkan der letzte Mensh (the last man,
manusia-purna). Manusia-purna dicita-citakan oleh orang yang begitu
melekat pada satu tujuan. Tujuan atau cita-cita ini biasanya berupa orang-orang
yang terkenal, yang selalu ingin ditiru. Orang yang mendambakan Manusia-purna
juga disebut Manusia-purna, karena dia tidak melihat lagi kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang dapat diciptakan. Dia melihat seolah-olah semua kemungkinan
sudah tertutup rapat oleh Manusia-purna yang dicita-citakan. Ajaran
tentang Manusia-putna ini
disampaikan Zarathustra kepada khalayak yang masih belum memahami dan menerima
ajaran tentang Übermensch.[40]
Dalam Manusia-purna kemanusiaan
dinilai berdasarkan hasil konformitas. Sedangkan di kalangan orang yang
mengarah Übermensch, penilaian pertama-tama berdasarkan pada apa yang
dikehendakinya. Sebab hanya melalui apa yang dikehendaki, orang dapat
meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa.
Dari urain di atas, dapat disimpulkan bahwa
menurut Nietzsche kedudukan manusia berada di antara binatang dan Übermensch.
Di satu pihak, kedudukan tersebut ditandai dengan bahaya untuk menyerah
pada dorongan hidup dan risiko untuk berperang. Di lain pihak, kedudukan ini
justru menandakan kebesaran manusia yang tidak identik dengan binatang. Kebesaran
ini hanya bisa dialami oleh orang mengarahkan dirinya pada Übermensch, yaitu
kemungkinan optimal seseorang berdasarkan potensialitas kemanusiaannya atau
dorongan hidupnya. Übermensch ini begitu dekat dengan manusia dan setiap
saat siap direalisasikan, karena ia justru diciptakan untuk memenuhi kehendak
untuk berkuasa (the will to power).
4. Siapakah Übermensch?
Pertanyaan
ini banyak menimbulkan interpretasi tentang siapa sebenarnya Übermensch,
sebagian orang berasumsi bahwa Übermensch merupakan sosok manusia atau
pribadi yang pada suatu saat benar-benar ada dan hidup. Dalam pengertian ini, Übermensch
tidak jauh beda dengan Mesias atau Ratu Adil yang selalu di nanti-nantikan
orang, sehingga kalau orang berbicara tentang Übermensch selalu
membicarakan manusia yang akan datang.[41]
Ada
juga yang menafsirkan bahwa Übermensch merupakan sosok pribadi yang
kuat: sepenuhnya kerasan di dunia, tidak merasa perlu menghiraukan orang lain,
tidak berfikir sedikitpun tentang dunia sesudah kematian, tujuan utamanya
adalah mencapai kepuasan setinggi-tingginya bagi nalurinya dan pemuasan bagi
nafsu berkuasa, serta menghancurkan apa yang memperlemah dirinya. Dalam hal
ini, Elizabeth—saudari Nietzsche—berasumsi sosok Übermensch terpesonifikasi pada figur Adolf Hitler.[42]
Selain
dua interpretasi di atas, ada interpretasi lain yang lebih bisa diterima, yakni
Übermensch dipahami sebagai kemungkinan terbesar yang bisa dilihat dan
dapat dicapai seseorang berdasarkan prinsip kehendak untuk berkuasa (the
will to power). Karena Nietzsche sendiri berkata: “belum pernah ada
seorang Übermensch”.[43]
E. Kritik Terhadap Pemikiran Nietzsche
Dari keseluruhan pemikiran
Nietzsche tentang manusia, ada beberapa catatan keberatan yang diajukan oleh
para pembanya, yakni antara lain: pertama, Nietzsche meradikalisasi
evolusi. Namun dengan demikian persoalannya belum selesai. Andaikan saja, Übermensch
(Adi Manusia) itu terwujud. Lalu bagaimana? Bukankah Übermensch ini
harus diatasi lagi oleh semacam Über-Übermensch, dan seterusnya begitu
sampai tak berhingga? Pada dasarnya Nietzsche menyadari betul kesulitan besar
yang melekat pada tiap evolusionisme radikal dan tiap proses dialektisnya. Nietzsche
mengupayakan suatu pemecahan—menurut para pengkritik—sebagai suatu yang tidask
masuk akal: kembalinya segala sesuatu secara abadi (the eternal
recurence of the same). Segala sesuatu kebali
lagi, pada skala makro maupun mikro, karena evolusi itu bagaikan “jam pasir”
yang terus menerus memutar-balikkan dirinya. pemecahan seperti itu tidak
memadai dan memperlihatkan determinisme belaka. Karena keberadaan yang diulangi
terus-menerus itu sukar disebut sebagai “bermakna”.[44]
Kedua, terkait dengan ungkapan “gott ist tot” sebagai dasar untuk
memanusiakan kembali manusia, Henry De Lubac pada Tahun
1945, menulis buku berjudul “Das Drama de Atheistischen Humanismus” (Drama
Humanisme Ateis). De Lubac mengecam perrnyataan Nietzsche tentang ”Tuhan
Sudah Mati”, menurutnya pernyataan itu adalah sebuah kategori humanisme, yang
menghancurkan diri manusia sendiri, serta merupakan sebuah rumusan ateistik
yang menebas derajat dan nilai manusia sampai ke akar-akarnya.[45]
Itulah beberapa kritik yang
ditujukan pada pemikiran Nietzsche, yakni pada paham humanismenya. Terlepas
dari tepat atau tidak kritik itu, namun bagaimanapun juga usaha Nietzsche perlu
dihargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya, demi mengangkat
nilai-nilai humanitas.
F. Penutup
Akhirnya, penderitaan adalah sebuah
bayaran bila manusia berusaha memurnikan gambaran dirinya, termasuk Tuhannya.
Dengan mewartakan ”gott ist tott”, demi memanusiakan manusia dengan
ajaran Übermensch. Begitulah
lukisan tragis nasib Nietzsche, selama hidupnya bergulat, akhirnya ambruk
sendiri dengan sakit jiwa. Sungguh pengorbanan yang luar biasa! Namun
pengorbanannya tidak sia-sia, karena ”palu” pemikirannya telah menghancurkan
kebuntuan zaman, dan memberikan pencerahan bagi generasi sesudahnya. Akhirnya,
terlepas dari pelbagai kontroversi Nietzsche, penulis tutup tulisan ini dengan
pernyataan sang filsuf, yakni: ”tidak ada
fakta, yang ada hanya tafsir...”
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Gramedia,
Jakarta.
Bowie, dkk., 1988. Twenty Questions: An
Introduction to Philosophy. Harcourt Bruce Jovanovich, San Diego.
Hadi, P. Hardono. 1996, Jatidiri
Manusia, Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Kanisius, Yogyakarta.
Huizinga, Johan. 1990. Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan
dalam Budaya. LP3ES, Jakarta.
Kaufmann, Walter. 1969. The Portable Nietzsche,
The Viking Press, New York.
Leahy, Louis. 1989. Manusia, Sebuah Misteri,Sintesa Filosofis
tentang Makhluk Praradoksal. Gramedia, Jakarta.
Leahy, Louis. 1985. Aliran-aliran Besar
Ateisme. Kanisius, Yogyakarta.
Lingis, Alphonso “The Will To Power”, dalam Nietzsche
and the Revaluation of Values, edited by Stan van Hooft, Deakin
University.
Nietzsche, 1966. Thus Spoke Zarathustra.
The Viking Press, New York.
Nietzsche, Friedrich. 1968. The Will to Power
, a new Translation by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale. Vintage Books,
New York.
Nietzsche, 1974. The Gay Science, Vintage
Books, New York
Nietzsche, Man, All too
Human, Compiled from translations by Helen Zimmern, R. J. Hollingdale,
and Marion Faber.
Sautet, Marc, 2001. Nietzsche
untuk Pemula. Kanisius, Yogyakarta.
Sindhunata, “Kritik Humanisme
Ateis” dalam Basis Nomor
11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta.
Sindhunata, “Nietzsche, Sang Pembunuh Tuhan”, dalam Basis 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000,
Yogyakarta.
Sunardi, St. 1999. Nietzsche.
LKiS,Yogyakarta.
Titus dkk., 1984. Persoalan-persoalan
Filsafat, terjem. oleh H. M. Rasjidi. Bulan Bintang, Jakarta.
Weij, P. A. Van der. 1991. Filsuf-filsuf Besar
tentang Manusia, terjem. oleh K. Bertens. Gramedia, Jakarta.
[1] Johan Huizinga, Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat
Permainan dalam Budaya, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. vii.
[2] Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri,Sintesa Filosofis
tentang Makhluk Praradoksal, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 2.
[3] “Identitas personal merupakan inti persoalan yang ingin
dijawab oleh para filsuf terkait dengan hakikat manusia. Ada tiga kategori
pandangan filsuf tentang identitas personal manusia, pertama,
mereka yang menjelaskan identitas personal sebagai terma yang bersifat mental.
Identitas kita sepanjang waktu ditentukan oleh fungsi pemikiran, keyakinan, dan
perasaan—sering disebut sebagai “kepribadian” dan “karakter” kita. Kedua, ialah
mereka yang berpendapat bahwa identitas personal terkait erat dengan
kesinambungan jasmaniah kita. Meskipun badan yang anda miliki sekarang lebih
besar dari pada saat anda berumur dua tahun, kesinambungan “ruang-temporal”nya
memberikan dasar bagi identitas anda sepanjang waktu. Terakhir, beberapa
filsuf berrpendapat bahwa identitas personal hanya merupakan ilusi…” lihat
Bowie, dkk., Twenty Questions: An Introduction to Philosophy, (San
Diego: Harcourt Bruce Jovanovich, 1988), hlm. 327.
[4] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia, Berdasar
Filsafat Organisme Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 13-14.
[5] Saat penulis menyelesaikan makalah ini, yakni pada tanggal
26 Desamber 2007, penulis melihat tayangan berita di televisi, tentang banjir
di berbagai daerah di Indonesia, akibat curah hujan yang berlebihan, bahkan di
beberapa daerah terjadi bencana longsor yang merenggut sekitar 60 orang. Bencana
longsor yang paling banyak membawa korban ialah yang menimpa warga Karang Anyar
sampai mencapai 37 orang.
[6] Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terjem.
oleh H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 46.
[7] “ultim” diturunkan dari kata latin ultimus yang berarti “terakhir”, kata tersebut
menunjuk pada waktu…, lihat Dr. P. A. van der weij, Filsuf-filsuf Besar
tentang Manusia, terjem. oleh K. Bertens, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm.
5-7.
[8] Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-49,
November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 3.
[10] St. Sunardi, Nietzsche,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 3, lihat
juga Marc Sautet, Nietzsche
untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 6-7, juga Nietzsche, dalam http://www.edinformatics.com/great_thinkers/nietzsche.html,
juga Nietzsche, dalam http://www.rightsphilosophyforum.org/Nietzsche.html.
[11] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 3-5.
[15] Ajaran ini menyankal keabsahan alternatif
positif mana pun. Istilah ini sudah diterapakan pada metafisika, epistemologi,
etika, politik, dan teologi. Istilah ini
diciptakan pertama kali oleh Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children
(1862) untuk menunjuk suatu gerakan di Rusia pada paruh kedua abad ke-19.
gerakan ini menuntut perubahan secara terencana dan yang, pada puncaknya,
membantai sejumlah pejabat Rusia, termasuk Tsar Alexander II sendiri. Lihat
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm.
712.
[16]
“what I relate is the history of the next two centuries. I describe what
coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism…lihat Friedrich Nietzsche, The Will to Power
, a new Translation by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale, (New York:
Vintage Books, 1968), aphorisma 3.
[17]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 22. lihat juga Sindhunata,
“Nietzsche, Sang Pembunuh Tuhan”, dalam Basis
11-12, Tahun Ke-49,
November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 9-10.
[18]
Nietzsche, The Gay Science, (New York: Vintage Books, 1974.), aphorism
125; bisa dilihat juga pada Walter Kaufmann, The Portable Nietzsche,
(New York: The Viking Press, 1969), p. 95.
[19]
Seorang profesor yang ditugasi oleh pemerintah Nazi untuk menafsirkan pemikiran-pemikiran
Nietzsche.
[20]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 38.
[21]
“If the innermost essence of beings is
will of power, if pleasure is every increase of power, displeasure every feeling
of not being able to resist or dominate; may we not then posit pleasure as
cardinal fact”…lihat Freidrich
Nietzsche, The Will Power to Power..., hlm. 693.
[22]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm.23, lihat juga Alphonso
Lingis, “The Will To Power”, dalam Nietzsche and the Revaluation of
Values, edited by Stan van Hooft, (Deakin University), hlm. 188-196.
[23]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 46.
[24]
Ibid. hlm. 91-93.
[25]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, (New York: The Viking Press,
1966), bagian 1, aphorisma 3.
[26]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 94-95.
[27]
Freidrich Nietzsche, The Will Power to Power..., hlm.
1066.
[28]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 112-113.
[29]
Pandangan Nietzsche ini merupakan buah keniscayaan logis akan penolakannya
terhadap penciptaan dan metafisika. Karenanya kembalinya segala sesuatu merupakan konsepsi dunia yang siklis. Dan
kalau ditelaah lebih lanjut, pandangan ini pernah dikemukakan oleh filsuf
Yunani jauh sebelum Socrates. Dalam hal ini Porphyrus dalam kehidupan
Pytha goras mengatakan: “menurut siklus-siklus periodik , maka apa yang
terjadi akan terjadi lagi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang baru sama
sekali.” Lihat Louis Leahy SJ, Aliran-aliran Besar Ateisme, (Yogyakarta:
Kanisius, 1985), hlm. 19.
[30]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 116.
[31]
Nietzsche, Man, All too Human, Compiled from
translations by Helen Zimmern, R. J. Hollingdale, and Marion Faber. s. 2.
[32]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra.., bagian 5, aphorisma 2.
[33]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 96-97.
[34]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 1, aphorisma 3.
[35]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 99.
[36]
Ibid., hlm. 100.
[37]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 4.
[38]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. hlm. 101.
[39]
Ibid., hlm. 102.
[40]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 5.
[41]
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 4
[42]
St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 104.
[43]
lihat Freidrich Nietzsche, The
Will Power to Power..., hlm. 1027.
[44] lihat Dr. P. A. van
der weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia…, hlm.
131-132.
[45] Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-49,
November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar