Kamis, 27 Juni 2013

NIETZSCHE: FILSUF SANG PEMBUNUH "TUHAN"

A.     Pendahuluan
Dahulu, dengan pelbagai apa yang dicapai oleh manusia melalui keistimewaanya, orang menjadi yakin untuk menyebut manusia sebagai homo sapiens. Seiring dengan berlalunya waktu, kita lalu menyadari bahwa ternyata kita tidak cukup bijak seperti yang diduga pada abad ke-18—yakni dengan pemujaan pada akal dan optimisme yang naif. Karena itulah, akhirnya dunia modern mendeskripsikan spesies kita sebagai homo faber (Manusia Pekerja). Meskipun faber tak terlalu meragukan dibandingkan dengan sapiens, namun menyebut makhluk manusia secara spesifik dengan istilah tersebut, nampaknya kurang tepat mengingat hewan juga pekerja. Sebutan yang lain, untuk spesies manusia yakni homo ludens, yang berarti makhluk yang  bermain, yang sama kedudukan urgen  dalam kehidupan manusia selain sebagai makhluk yang berfikir dan bekerja.[1]
Namun sayangnya, setiap definisi tentang manusia, selalu tidak lengkap dan sempurna. Justeru mungkin karena alasan itu dan kecenderungan manusia sebagai makhluk yang bertanya, dia selalu bertanya tentang hakikat dirinya. “Siapa Aku?”, adalah pertanyaan klasik, namun ia  tetap bersifat up to date dan selalu relevan untuk ditanyakan sepanjang sejarah manusia. Manusia ketika menginjak remaja, akan mengalami dirinya sebagai pribadi dan memiliki keinginan untuk mengetahui hakikat dirinya. Karenanya Socrates dalam Nubuat Delpinya berkata: “Kenalilah dirimu sendiri”[2].Upaya menjawab hakikat identitas manusia telah banyak dilakukan, ada yang mengatakan identitas personal manusia itu bersifat mental dan spiritual, yang lainnya beranggapan bahwa esensi pribadi manusia bersifat biologis, bahkan sebagian orang menegaskan bahwa identitas pribadi manusia itu hanya sebuah ilusi. [3]
Pertanyaannya sekarang, sudahkah manusia menemukan jati dirinya? Pertanyaan sangat sulit untuk dijawab secara tegas. Harus kita akui bahwa perkembangan yang telah dicapai oleh manusia dengan kecerdasannya sangat pesat, sehingga menciptakan kehidupan terasa sangat mengasyikkan, penuh harapan, membawa selaksa janji, dan sekaligus tantangan. Namun, kondisi dan situasi ini tidak sepenuhnya membawa dampak kehidupan yang damai dan tentram. Manusialah yang menciptakan situasi ini, namun sekarang ciptaannya itu telah menjadi begitu kuat, seolah menjadi monster yang mengancam penciptanya.[4] Misalnya, dalam konteks dunia global masa kini, adanya fenomena “pemanasan global” (global warming) sebagai akibat gas pembuangan dari industri-industri dan emisi penggunaan bahan bakar fosil yang mengandung karbodioksida, membawa efek “rumah kaca”, telah melahirkan perubahan cuaca (climate change) di bumi, ditambah oleh pembalakan liar (illegal logging) yang membuat hutan-hutan gundul, yang akhirnya hampir pasti disusul dengan pelbagai bencana alam di pelbagai belahan dunia—tak terkecuali di Indonesia.[5] Juga, pelbagai kasus peperangan yang selalu memakan korban, seakan menegaskan tesis Thomas Hobbes bahwa watak dasar manusia itu bersaing, agresif, loba, anti sosial, dan bersifat kebinatangan.[6] Karenanya dia mengumandangkan jargon “homo homini lupus”.
Fakta-fakta di atas semakin memberikan afirmasi bahwa telaah tentang manusia masih merupakan condition sine qua non, karenanya pertanyaan seputar apa dan siapakah sebenarnya manusia tak pernah lapuk oleh zaman. Terlebih menanyakan makna serta kemungkinan tertinggi kehidupan manusia, yang berarti juga mempertanyakan apa yang harus dilakukan oleh manusia. Termasuk juga di dalamnya, pertanyaan tentang tujuan “ultim” dari manusia. [7] Pada konteks inilah arti penting filsafat manusia.
Bertolak dari deskripsi di atas, tulisan ini ingin mengangkat pandangan tentang manusia menurut salah satu filsuf yang terkenal yakni Friedrich Nietzsche. Ia masyhur dengan jargon yang sangat fenomenal yakni slogan "Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott ist tot"). Warta tentang kematian Tuhan yang disyiarkan oleh Nietzsche, telah direspon  tidak simpati oleh sebagian besar pemeluk agama, terlebih para agamawan dan teolog. Misalnya, Henry De Lubac pada Tahun 1945, menulis buku berjudul “Das Drama de Atheistischen Humanismus” (Drama Humanisme Ateis). De Lubac mengecam perrnyataan Nietzsche tentang ”Tuhan Sudah Mati”, menurutnya pernyataan itu adalah sebuah kategori humanisme, yang menghancurkan diri manusia sendiri, serta merupakan sebuah rumusan ateistik yang menebas derajat dan nilai manusia sampai ke akar-akarnya.[8]
Namun, berita kematian Tuhan yang diwartakan oleh Nietzsche tersebut, juga memiliki pendukungnya sendiri. Sebuah laporan utama majalah Time (8 April 1966) tentang agama di Amerika bertanya "Apakah Tuhan sudah mati?" Terbitan ini kemudian menjadi salah satu edisi ”Time” yang paling kontroversial. Sampul majalah Time 8 April 1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika yang muncul pada tahun 1960-an, dikenal sebagai "kematian Tuhan". Gerakan Kematian Tuhan kadang-kadang secara teknis disebut sebagai "teotanatologi."Tokoh penganjur utama teologi ini termasuk para teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J. J. Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein.[9]
Berdasarkan latar belakang (back ground) di atas, tulisan ini ingin menelaah lebih lanjut bangunan pemikiran Nietzsche, yakni tentang manusia dan pembelaanya terhadap humanitas meskipun harus melakukan pembunuhan terhadap Tuhan dengan jargon "Gott ist tot".
       
B.     Riwayat Hidup Nietzsche
Setiap pemikiran filsuf dikaitkan erat dengan riwayat hidupnya, terlebih pada sosok  Nietzsche. Seorang filsuf  yang dikabarkan menderita kegilaan pada periode akhir menjelang ia meninggal, ditandai dengan berbagai petualangan dan kesepian yang memberikan karakter kuat pada corak pemikirannya secara keseluruhan. Oleh karena itu hampir mustahil bagi kita memahami gagasan filosofis Nietzsche tanpa terlebih dahulu meneropong lebih dekat latar belakang kehidupannya.
Jika menelaah lebih mendalam latar belakang keluarganya, terasa mengherankan bahwa filsuf yang terkenal kontroversial, radikal, dan ateistik, ternyata sangat bertentangan dengan akar tradisi keluarganya. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862), merupakan pejabat penting dalam Gereja Lutheran, posisinya disejajarkan dengan seorang uskup dalam Gereja Katolik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), merupakan pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen.  Sedangkan ibunya, ialah Franziska Oehler (1826-1879), juga merupakan seorang Lutheran yang berasal dari keluarga pendeta. Sikap Franziska sering bertentangan dengan Nietzsche, namun tragisnya, dialah orang yang paling dekat dengan Nietzsche. [10]
Nietzsche lahir di Rochen pada 15 Oktober 1844. Hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Raja Prusia saat itu, Friedrich Wilhelm. Karenanya, sang ayah memberi nama baptis Friedrich pada bayinya. Saat yang paling membahagiakan bagi Nietzsche, ialah kurun waktu kebersamaanya dengan sang ayah. Namun fase bahagia itu, nampak terlalu singkat karena di usia Nietzsche menginjak empat tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras dan meninggal tahun 1849.
Menjelang usia enam tahun ia masuk sekolah Gymnasium. Di sekolah ini ia mulai mengenal karya-karya Goethe dan Wagner. Karena perkenalnya pertama dengan sastra dan musik, dia merasa bahwa dia cukup memiliki bakat dalam dua bidang, dan itu ia buktikan pada tahap perkembangan selanjutnya.
Pada umur  empat belas tahun Nietzsche pindah ke Pforta, sebuah sekolah yang para siswanya yang di asramakan. Di sekolah tersebut, Nietzsche belajar Bahasa Yunani, Latin, dan Hibrani—bahasa yang disebutkan terakhir diakui olehnya terlalu sulit sehingga ia gagal mengusainya, yang merupakan bekal berharga yang akan mengantarkannya menjadi seorang filolog brilian. Di situ pulalah, ia mulai merasa kagum terhadap karya-karya klasik Yunani. Ia bersama teman-temannya membentuk kelompok sastra yang diberi nama Germania.
Pada Oktober 1864 Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam filologi dan teologi. Pada bidang filologi, ia menjadi mahasiswa Fiedrich Ritschl. Di tahun 1865 ia memutuskan untuk tidak belajar teologi lagi. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan Nietzsche yang mulai pudar semenjak ia masih tinggal di Pforta. Ia masih belajar teologi sampai saat ia mengambil keputusaan itu, karena kecintaannya yang begitu besar terhadap kedua orang tuanya yang menginginkan agar Nietzsche menjadi penerus profesi ayahnya sebagai pendeta. Langkah Nietzsche tersebut mendapat perlawanan keras ibunya, Franziska. Di antara keduanya pernah terlibat diskusi melalui surat tentang hal ini, dalam salah satu Suratnya Nietzsche menulis: ”Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka: percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka: carilah...![11]
Di Bonn Nietzsche tidak bertahan lama, ia belajar hanya dua semester. Pada pertengahan 1865 ia pindah ke Leipzig untuk belajar filologi selama empat semester. Di sini ia menyelesaikan tulisan pertamanya dalam bidang filologi yaitu De Theognide Megarensis (Silsilah Para Dewa Megara). Di Leipzig, ia berkenalan dengan pemikiran Schoupenhauer (1788-1860) dengan membaca buku Die Welt als Wille und Vors-tellung (The Worlds as Will and Idea, Dunia sebagai Kehendak dan Ide, 1819). Buku lain yang juga memperngaruhi pemikiran Nietzsche ialah buku karangan seorang neo-Kantian, Friedrich Albert  Lange (1828-1975), yang berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegenwart (Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada Zaman Sekarang). Buku yang petama merupakan pandangan Schoupenhauer tentang manusia. sedangkan yang kedua, merupakan antologi yang memuat tema-tema materialisme etis dan teori Darwin.
Pada 1867-1868 terjadi perang antara Jerman dan Perancis. Saat itu Nietzche menjalani dinas militer, ia mengalami berbagai pengalaman tragis sebagaimana terjadi dalam perang. Hal itu membuat Nietzsche terguncang dan bimbang antara melajutkan studi dalam bidang filologi atau pindah pada studi lain. Karena ia merasa bahwa belajar filologi itu hambar dan mati. Ia ingin belajar sesuatu yang lebih menarik untuk hidup. Pada tahun itu Nietzsche bertemu dengan Richard Wagner, seorang musikus Jerman. Dari perjumpaan dengan Wagner ia mengambil kesimpulan bahwa kebebasan dan karya jenius itu masih bisa dicapai melalui spirit musik wagner.  
Pada tahun 1869 Nietzsche mendapat panggilan dari Universtas Basel, Swiss, untuk menjadi dosen. Di Basel ia mengajar mata kuliah filologi dan bahasa Yunani. Ia memutuskan untuk berhenti mengajar pada tahun 1879 karena kesehatannya memburuk. Di akhir-akhir  masa kariernya sebagai dosen ia banyak menulis buku yakni antara lain: Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy out of The Spirit of Music, lahirnya tragedi dari Semangat Musik), 1872; Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Medition, Permenungan yang Terlalu Awal) 1873 dan 1876; Menschliches, Allzumenschliches (Human, All-Too—Human) 1878; serta pada tahun 1879, ia menulis dua buku yakni Vermischte Meinungen und Spruche (Mixed Opions and Maxims; Kumpulan Gagasan dan Pepatah), dan Der wanderer und Sein Schatten (The Wander and His Shadow, Petualang dan Bayang-bayangnya).[12]
Sejak meninggalkan Basel, Juni 1879, kehidupan Nietzsche diwarnai oleh kesuraman dan kesepian. Ia lebih banyak menyendiri dan selalu menghindar dari hal-hal yang menyangkut tanggungjawab sosial. Dalam masa pengembaraan ini, ia sering berpindah-pindah tempat di beberapa kota di Italia dan Swiss. Ia sering ditemani oleh Elisabeth (saudarinya), Lou Salome, dan Paul Ree. Ia pernah merencanakan menikahi Lou Salome, seorang novelis cantik, menyenangkan, dan cerdas yang pernah dikenal oleh Nietzsche. Lou menerima lamaran Nietzsche, asal dia juga diperbolehkan menikahi Paul Ree. Namun ibu dan saudarinya, berang dan menolak rencana yang menurut mereka ”immoral, hal itu membuat kesehatan Nietzsche semakin buruk sehingga mendorongnya untuk hidup sendirian sampai akhir hidupnya.
Pada fase ini, Nietzsche banyak menulis karya-karya monumental. Ada pun karya-karya tersebut antara lain; Die Morgenrote, Gedanken uber die Moralischen Vorurteile (Fajar, Gagasan-gagasan tentang Praanggapan Moral) 1881; Die frohliche Wissenschaft (“la gaya scienza) (Ilmu yang mengasyikkan) 1882—dalam buku ini Nietzsche pertama kali memproklamirkan bahwa “Tuhan telah mati” (God ist tot); Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra) 1885; Jenseits von Gut und Bose: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Di Seberang Baik dan Jahat: Pengantar untuk Filsafat Masa Depan) 1886; Zur Genealogie der Moral: Eine Streitschrift (Tentang Asal Usul Moral: Suatu Polemik) 1887.
Pada tahun 1888, merupakan masa paling produktif Nietzsche dalam menulis buku, akan tetapi hanya ada satu buku yang sempat diterbitkan ialah Der Fall Wagner: Ein Musikan-ten-Problem (Kasus Wagner: Persoalan Musikus). Sedangkan karya-karya yang belum diterbitkan pada tahun ini adalah Die Gotzen-Dammerung (Pudarnya Para Dewa) terbit tahun 1889; Der Antichrist (Antikristus) terbit tahun 1895; dan Ecce Homo (Lihatlah Manusia) diterbitkan tahun 1908.[13]
Tahun 1889, Nietzsche mengalami sakit jiwa. Franz Overbeck—salah seorang sahabatnya—membawa Nietzsche ke klinik Universitas Basel. Seminggu kemudian dipindahkan ke klinik Universitas Jena. Namun, hampir seluruh usaha penyembuhan sia-sia saja. Nietzsche tak pernah dapat sembuh sama sekali. Pada tahun 1890 ia dipindahkan oleh ibunya ke Naumburg dan dirawat oleh ibunya sendiri. Tiga tahun kemudian Elisabeth datang dari Paraguay, karena suaminya, Foster , bunuh diri pada 1889. Bersama dengan ibunya, Elisabeth merawat Nietzsche yang semakin rapuh. Pada 20 April 1897 sang ibu meninggal. Karenanya, Elisabeth memindahkan Nietzsche ke Weimar. Dan di sana ia meninggal pada tanggal 25 Agustus 1900. Saat-saat terakhir hidupnya, keadaan Nietzsche sangat tragis, selama dua tahun terakhir masa hidupnya ia tidak dapat mengetahui apa-apa dan tidak bisa berpikir lagi. Bahkan, ia tidak tahu kalau ibunya meninggal dan tidak mengerti kalau dirinya mulai masyhur.[14]

C.     Pokok-Pokok Pemikiran Filosofis Nietzsche
“Tak ada fakta, yang ada hanya tafsir”, begitu ungkapan Nietzsche berkaitan dengan kebenaran dan pengetahuan. Berbanding lurus dengan hal itu, menafsirkan pandangan manusia a la Nietzsche, akan mengalami reduksi tanpa melihat peta pemikiran Nietzsche secara menyeluruh. Adapun ajaran pokok Nietzsche yakni: nihilisme, Übermensch (adi manusia), wille zur Macht (The will to Power, Kehendak untuk Berkuasa), dan die ewige widerkehr des gleichen (the eternal recurence of the same).
1)      Nihilisme
Nihilisme secara etimologis berasal dari nihil (Latin) yang berarti ”tidak ada”, atau lebih tepatnya ketiadaan. Sedangkan secara terminologis, berarti penyangkalan skeptis terhadapa semua yang diagggap sebagai real atau tidak real, pengetahuan atau kekeliruan, ada atau tiada, ilusi atau non-ilusi; penyangkalan terhadap nilai dari semua pembedaan.[15]
Nililisme bagi Nietzsche merupakan sebuah renungan tentang krisis kebudayaan, yakni kebudayaan Eropa. Nietzsche meramalkan kedatangan nihilisme, [16] yakni proses memudarnya nilai dan makna menuju keruntuhan. Nihilisme tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, yang meliputi bidang keagamaan dan pengetahuan. [17]
Dalam konteks ini, Nietzsche dengan pemikirannya bisa dikatakan sebagai figur yang mempercepat proses nihilisme secara mendasar, dan berusaha mengatasinya dengan mengatakan ”Ya” pada nihilisme. Untuk menggambarkan pudarnya setiap kepastian Nietzsche berseru: ”Tuhan sudah mati! Tuhan terus mati! Kita telah membunuhnya”.[18] Singkatnya, paradigma seluruh krisis adalah ”Tuhan sudah mati”, untuk merumuskan keruntuhan jaminan hidup manusia. Warta tentang kematian Tuhan, selanjutnya akan penulis kupas secara tajam pada bab lain.
 
2)     Kehendak untuk Berkuasa (wille zur Macht, the will to power)
Gagasan kehendak untuk berkuasa  merupakan ide Nietzsche yang sering diasosiasikan dengan dunia politik. Interpretasi ini, terjadi karena Elisabeth—saudari kandung Nietzsche—dan Baumler[19] berhasil menyakinkan bahwa gagasan kehendak untuk berkuasa  Nietzsche mengandung provokasi politik. Namun, jika diteliti dari karya-karya Nietzsche, dia tidak pernah memperlihatkan diri sebagai seorang filsuf politik atau sosial. Melainkan, filsafatnya sangat dekat dengan gaya hidupnya sendiri, yang meliputi; individualisme, vitalisme, voluntarisme, dan eksistensialisme. Sukar untuk membayangkan bahwa Nietzsche mengidealisasikan kehendak untuk berkuasa dalam lembaga yang disebut ’negara’. Sebaliknya, negara baginya justru merupakan penghambat kebebasan untuk merealisasikan diri.[20]
Lalu apa sebenarnya apa maksud dari the will of power  bagi Nietzsche? Bagi  Nietzsche kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari dunia, hidup, dan ada. Jadi, kehendak untuk berkuasa  merupakan hakikat dari segala-galanya.[21] Dalam konteks ini, ia menolak untuk bertanya; apa itu…? karena pertanyaan ini menuntut jawaban tentang pengetahuan hakiki yang dipertanyakan. Sedangkan, yang hakiki sifatnya tetap, selalu sama dan tak berubah. Bagi Nietzsche pertanyaan ”apa?”, merupakan pertanyaan kaum metafisis. Mereka seolah dapat membaca dunia sebagaimana adanya. Padahal, menurut Nietzsche, setiap aktivitas bertanya merupakan secara filosofis ialah tindakan interpretasi terhadap dunia (world-hermeneutics). Dari kegiatan ini, kita memperoleh makna dan arti dari apa yang ditanyakan, di balik  kebenaran keduanya, tak ada yang berarti dan bermakna.[22]
Nietzsche menolak pandangan dualistik  terhadap dunia, karenanya ia menegasikan keberadaan dunia sejati yang dipahami oleh Schopenhauer atau dunia ide Plato, atau das ding and sichnya Kant. Baginya, dunia fenomenal yang berubah-ubah adalah satu-satunya dunia, sebagai kenyataan sejati. Karenanya, fenomena tidak ada realitas di balik fenomena. Fenomena harus dipahami sebagai proses interpretasi. Fenomena tersebut merupakan perwujudan yang paling jelas dari khaos (chaos),  dan bukan dari kosmos atau sebuah sistem. Dan manifestasi ini selalu berada dalam proses.[23]
Selaras paradigma di atas, kehendak (will)  dan kuasa atau kekuatan (power) dalam kehendak untuk berkuasa, bukan merupakan substansi metafisik, tetapi merupakan gejala yang sifatnya plural, yang muncul karena perbedaan kuasa atau kekuatan (power). Perbedaan ini terjadi karena sifat azali dari power yang selalu mengatasi dirinya. Catatan yang lain, bagi Nietzsche kehendak untuk berkuasa tidak dikaitkan dengan subyek.
Singkatnya, kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari dunia, hidup, dan ada, yyang bermakna bahwa dasar dari segala sesuatu merupakan dinamisme yang masih berada dalam status khaos. Gagasan ini, tidak terlepas dari nihilistik sebelumnya yang meruntuhkan setiap bentuk jaminan kemapanan termasuk Tuhan.

3)     Adi Manusia (Übermensch)
Konsep Übermensch merupakan keberlanjutan dari gagasan Nietzsche terdahulu, yakni nihilisme dan kehendak untuk berkuasa. Übermensch merupakan jawaban bagi pertanyaan ”apa tujuan manusia?”. Nietzsche menolak anggapan bahwa bertindak secara moral ialah bertindak sesuai dengan tataan dunia moral. Setiap bentuk determinisme obyektif yang mendahului tindakan manusia harus ditolak.
Dalam konteks ini, Nietzsche menganggap bahwa agama Kristen telah merendahkan manusia dengan dalih kebahagiaan kekal dan abadi. Baginya, tujuan itu ilusi, yang membuat orang ”menolak dan membelakangi hidup yang sebenarnya”. Sebaliknya, seharusnya manusia mengejar alternatif lain sebagai tujuan, yang tak lain ialah Übermensch. Übermensch  mengarahkan manusia berupaya untuk kerasan di dunia, dan tidak lagi ”mengarahkan anak panahnya ke langit. Karena setiap jaminan telah runtuh termasuk Tuhan sudah mati. Tujuan manusia ialah Übermensch sebagai makna dunia itu sendiri. [24] Dalam hal ini Nietzsche melalui tokoh Zarathustra berkata:
Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu!
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru:
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.
Aku mengingatkan kepadamu, saudsara-saudarku,
Tetaplah percaya pada dunia dasn jangan percaya mereka
Yang berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini adalah para pengracun, entah mereka tahu atau tidak.[25]

Istilah Übermensch  dalam bahasa Jerman terdiri dari dua kata bentukan uber  berarti ”di atas”, dan mensch  berarti ”manusia”. Dalam transliterasi Übermensch dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan superman atau overman---kedua istilah tersebut masih merupakan kontroversi dalam penggunaannya karena tidak sepenuhnya mewakili makna Übermensch  yang dimasudkan oleh Nietzsche.[26]
Singkatnya, Übermensch bagi Nietzsche merupakan makna terbesar  dari dunia. Untuk mencapai makna terbesar itu, manusia harus selalu menjadi jembatan menuju Übermensch. Manusia akan menjadi jembatan menuju Übermensch, kalau seluruh hidupnya dijiwai semangat kehendak untuk berkuasa. Artinya, manusia harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya dan mengatur hidupnya sedemikian rupa, sehingga bertambah pengalaman dan bertambah kekuasaannya.  

4)     Kembalinya Segala Sesuatu (die ewige widerkehr des gleichen, the eternal recurence of the same)
”Dunia ini ada; dunia bukan merupakan sesuatu yang menjadi, bukan sesuatu yang berjalan. Atau dapat juga dikatakan demikian: dunia ini menjadi, dunia ini berjalan, tetapi tidak pernah mempunyai permulaan untuk menjadi dan tidak pernah berhenti berjalan. Dunia mempertahankan dirinya dengan dua cara itu. Dunia hidup berdasarkan dirinya sendiri—sisa-sisa tubuhnya menjadi makanannya.[27]

Begitulah ungkapan Nietzsche ketika menggambarkan dunia sesuai dengan tesisnya, yakni kembalinya segala sesuatu. Tesis kembalinya segala sesuatu merupakan afirmasi mutlak pada dunia. Dia berasumsi bahwa segala peristiwa atau apa saja yang ada merupakan pengulangan dirinya. Pada pengulangan ini tidak terjadi peristiwa penciptaan. Karenaya, bagi Nietzsche dunia bersifat kekal dan abadi, ia menolak gagasan tentang proses awal penciptaan dunia, sebagaimana ia juga tidak menyetujui tentang adanya akhir dunia. Dunia bagi Nietzsche, tak berawal, tak berakhir, dan ada berdasarkan dirinya sendiri.[28]
Tesis Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu, merupakan penegasan  terhadap gagasan nihilisme, kehendak untuk berkuasa,  dan Übermensch. Gagasan tentang kembalinya segala sesuatu ialah puncak dan langkah pamungkas Nietzsche dalam menegaskan dunia.[29] Dengan mengakui gagasan ini manusia sanggup menyatakan bahwa dunia ini berjalan dari, untuk dan berdasarkan dirinya sendiri. Singkatnya, dunia diterima sebagai entitas yang kekal. Amor fati  (cinta akan nasib) merupakan key world  untuk menerima gagasan ini, sikap tersebut tidak hanya membuat manusia menerima kembalinnya segala sesuatu, bahkan lebih jauh membuat ide kembalinya segala sesuatu menjadi lebih indah.[30]

D.    Übermensch: Manusia Sempurna a la Nietzsche
1.       Zarathustra: Pembawa Nubuat tentang Übermensch
  Dalam buku Human all too Human, Nietzsche berpendapat bahwa para filsuf telah melakukan kealpaan yang kolektif, saat mereka memulai melihat manusia sebagai “dia  yang sekarang” dan berfikir bahwa mereka bisa mencapai tujuan mereka dalam menganalisa manusia. Mereka dengan tanpa sengaja berfikir tentang manusia sebagai “an aeterna veritas” (sesuatu yang senantiasa benar), suatu yang tetap konstan  di tengah-tengah perubahan yang terus menerus, serta sebagai ukuran pasti dari manusia. Sesungguhnya setiap pandangan yang diajukan oleh para filsuf tentang manusia, pada dasarnya hanya sebuah kesaksian (testimony) terhadap manusia pada periode waktu yang sangat terbatas (the man of  a very limited period of time).[31]
  Melalui tokoh Zarathustra Nietzsche menyebarkan dokrinnya tentang Übermensch. dalam buku Thus Spoke Zarathustra digambarkan bahwa meninggalkan rumah kediamannya pergi ke sebuah bukit dalam rangka melaksanakan laku rohani. Beberapa tahun kemudian, dia memutuskan untuk turun gunung dan membawa warta tentang kematian Tuhan. Orang yang pertama kali bertemu dengan Zarathustra ialah seorang resi mengaku sangat mencintai Tuhan dan membenci manusia yang serba tidak sempurna. setelah mereka berdialok panjang lebar tentang pengalaman spiritual mereka. Di akhir, Zarathustra membisikan kabar kepadanya bahwa Tuhan telah mati, namun sang resi tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Zarathustra.
  Setelah Zarathustra sampai di kota ia bertemu dengan kerumunan orang, pada mereka: “Aku mengajarkan Übermensch padamu. Manusia adalah sesuatu yang harus di atasi. Apakah yang telah kalian lakukan utnuk mengatasinya.” Begitulah Zarathustra mengawali ajaranya Übermensch pada manusia.[32]
  
2.      Übermensch: Sebagai Makna Dunia
Bagi Nietzsche kebutuhan yang paling mendesak ialah soal pemaknaan. Dia melihat bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai detik ini telah runtuh. Runtuhnya nilai-nilai ini disebabkan oleh jaminannya yang dianggap seolah-olah ada. Ia melalui tokoh Zarathustra, mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang. Adapun nilai itu ialah Übermensch. Übermensch merupakan cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia. Sikap ini, mencerminkan bahwa Nietzsche tidak lagi menaruh kepercayaan pada setiap bentuk nilai adi kodrati yang diyakini oleh manusia.[33] Karenanya, melalui Zarathustra, ia berseru:
 Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu!
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru:
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.
Aku mengingatkan kepadamu, saudsara-saudarku,
Tetaplah percaya pada dunia dasn jangan percaya mereka
Yang berbicara kepadamu tentang harapan-harapan di balik dunia ini.
Mereka ini adalah para pengracun, entah mereka tahu atau tidak.[34]

Übermensch di sini merupakan pengganti Tuhan yang telah dibunuh. Übermensch ialah tujuan manusia di kehidupan dunia. Übermensch adalah afirmasi hidup tanpa memnyisakan sedikit pun negasi. Namun demikian, berpalingnya manusia ke dunia belum menjamin bahwa dia mengafirmasikan hidup. Dengan kata lain, ada syarat lain yang harus dipenuhi oleh manusia demi terciptanya Übermensch. Adapun persyaratan tersebut ada pada pola hubungan antara manusia dan Übermensch.

3.      Eksistensi Manusia: Antara Binatang dan Übermensch
Bagi Nietzsche, hidup adalah the will to power. Dalam konteks ini manusia tidak lebih dari pada sebuah entitas atau satuan kekuasaan yang terus menerus hendak mengaktulisasikan diri melalui konflik. Dalam situasi dan kondisi inilah manusia berada di dunia. Dia harus mengatasi diri sendiri terus menerus. [35]
Menjawab di mana kedudukan manusi di dunia, Nietzsche melukiskan situasi manusia bagaikan tali yang terentang antara binatang dan Übermensch, bagai tali yang melintasi jurang. Bagi Nietzsche, manusia bukalah semata-mata produk alam sebagaimana yang diyakini oleh Darwin. Manusia memiliki potensi untuk mengatahsi status kebinatangannya dan sekaligus mengarah pada Übermensch. Kedudukan ini membuat manusia selalu dalam bahaya. Dia seolah-olah selalu dalam keadaan menyebrangi jurang: maju ke depan berbahaya, menoleh ke belakang berbahaya, berhenti pun berbahaya.[36]
Dalam keadaan seprti ini, Nietzsche terus maju adalah merupakan opsi yang paling tepat, meskipun pilihan tersebut menyebabkan manusia terjebak dalam situasi perang. Di lain pihak, Nietzsche memandang bahwa kedudukan manusia sebagaimana digambarkan di atas, merupakan simbol kebesarannya.
“kebesaran manusia adalah bahwa ia merupakan jembatan dan bukan merupakan tujuan; yang menyenangkan pada diri manusia ialah bahwa ia selalu ada dalam gerak ke depan dan gerak ke belakang.”[37]

Pernyataan ini menunjukkan ciri manusia yang bersifat transisional dalam arti sesungguhnya. Manusia adalah mkhluk yang tak henti-hentinya menyebrang: dari binatang menuju Übermensch. Dengan kata lain, ciri khas manusia ialah mengatasi status kebinatangganya sekaligus menuju Übermensch. Menurut Nietzsche, manusia tidak dengan sendirinya bergerak menuju Übermensch, kecuali kalau dapat mengatur naluri-naluri hidupnya. Jadi, menurut Nietzsche Übermensch dapat terwujud melalui prinsip kehendak untuk berkuasa (the will to power). Sebab prinsip ini pada dasarnya merupakan prisnsip pengaturan hidup, sehingga orang merasa semakin berkuasa. Prinsip inilah yang membedakan Übermensch dari tujuan hidup yang dipercayai oleh orang-orang Kristen. Übermensch sebagai tujuan hidup diciptakan seciri oleh manusia dan cara mewujudkannya pun sepenuhnya berdasarkan kemampuan-kemampuan manusia. Singkatnya,  Übermensche adalah cita-cita hidup yang diciptakan dan dikejar oleh orang yang terus menerus diliputi oleh semangat  kehendak untuk berkuasa (the will to power).[38]
Übermensch bukalah transendensi baru, melainkan anta manusia dan Übermensche   ada hubungan langsung. Bagi orang yang sedang menuju Übermensch, perasaan bersalah tidak relevan lagi,. Perasaan bersalah hanya dialami orang-orang dekaden. Kategori salah dan benar  diganti dengan baik dan buruk. Dalam Anti Crist ia menjelaskan baik adalah apa saja yang meningkatkan perasaan kehendak untuk berkuasa, dan buruk berarti apa saja yang mersepsentasikan kelemahan. Sedangkan bahagia adalah bertambahnya kekuasaan dan keberhasiolan mengatasi hambatan.[39]      
Untuk menghindari kesalahpahaman tentang Übermensch, Nietzsche juga memperkenalkan der letzte Mensh (the last man, manusia-purna). Manusia-purna dicita-citakan oleh orang yang begitu melekat pada satu tujuan. Tujuan atau cita-cita ini biasanya berupa orang-orang yang terkenal, yang selalu ingin ditiru. Orang yang mendambakan Manusia-purna juga disebut Manusia-purna, karena dia tidak melihat lagi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang dapat diciptakan. Dia melihat seolah-olah semua kemungkinan sudah tertutup rapat oleh Manusia-purna yang dicita-citakan. Ajaran tentang Manusia-putna  ini disampaikan Zarathustra kepada khalayak yang masih belum memahami dan menerima ajaran tentang Übermensch.[40]
Dalam Manusia-purna kemanusiaan dinilai berdasarkan hasil konformitas. Sedangkan di kalangan orang yang mengarah Übermensch, penilaian pertama-tama berdasarkan pada apa yang dikehendakinya. Sebab hanya melalui apa yang dikehendaki, orang dapat meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa.
Dari urain di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Nietzsche kedudukan manusia berada di antara binatang dan Übermensch. Di satu pihak, kedudukan tersebut ditandai dengan bahaya untuk menyerah pada dorongan hidup dan risiko untuk berperang. Di lain pihak, kedudukan ini justru menandakan kebesaran manusia yang tidak identik dengan binatang. Kebesaran ini hanya bisa dialami oleh orang mengarahkan dirinya pada Übermensch, yaitu kemungkinan optimal seseorang berdasarkan potensialitas kemanusiaannya atau dorongan hidupnya. Übermensch ini begitu dekat dengan manusia dan setiap saat siap direalisasikan, karena ia justru diciptakan untuk memenuhi kehendak untuk berkuasa (the will to power).        
4.      Siapakah Übermensch?
  Pertanyaan ini banyak menimbulkan interpretasi tentang siapa sebenarnya Übermensch, sebagian orang berasumsi bahwa Übermensch merupakan sosok manusia atau pribadi yang pada suatu saat benar-benar ada dan hidup. Dalam pengertian ini, Übermensch tidak jauh beda dengan Mesias atau Ratu Adil yang selalu di nanti-nantikan orang, sehingga kalau orang berbicara tentang Übermensch selalu membicarakan manusia yang akan datang.[41]
  Ada juga yang menafsirkan bahwa Übermensch merupakan sosok pribadi yang kuat: sepenuhnya kerasan di dunia, tidak merasa perlu menghiraukan orang lain, tidak berfikir sedikitpun tentang dunia sesudah kematian, tujuan utamanya adalah mencapai kepuasan setinggi-tingginya bagi nalurinya dan pemuasan bagi nafsu berkuasa, serta menghancurkan apa yang memperlemah dirinya. Dalam hal ini, Elizabeth—saudari Nietzsche—berasumsi sosok Übermensch  terpesonifikasi pada figur Adolf Hitler.[42]
  Selain dua interpretasi di atas, ada interpretasi lain yang lebih bisa diterima, yakni Übermensch dipahami sebagai kemungkinan terbesar yang bisa dilihat dan dapat dicapai seseorang berdasarkan prinsip kehendak untuk berkuasa (the will to power). Karena Nietzsche sendiri berkata: “belum pernah ada seorang Übermensch”.[43]

E.     Kritik Terhadap Pemikiran Nietzsche
Dari keseluruhan pemikiran Nietzsche tentang manusia, ada beberapa catatan keberatan yang diajukan oleh para pembanya, yakni antara lain: pertama, Nietzsche meradikalisasi evolusi. Namun dengan demikian persoalannya belum selesai. Andaikan saja, Übermensch (Adi Manusia) itu terwujud. Lalu bagaimana? Bukankah Übermensch ini harus diatasi lagi oleh semacam Über-Übermensch, dan seterusnya begitu sampai tak berhingga? Pada dasarnya Nietzsche menyadari betul kesulitan besar yang melekat pada tiap evolusionisme radikal dan tiap proses dialektisnya. Nietzsche mengupayakan suatu pemecahan—menurut para pengkritik—sebagai suatu yang tidask masuk akal: kembalinya segala sesuatu secara abadi (the eternal recurence of the same). Segala sesuatu kebali lagi, pada skala makro maupun mikro, karena evolusi itu bagaikan “jam pasir” yang terus menerus memutar-balikkan dirinya. pemecahan seperti itu tidak memadai dan memperlihatkan determinisme belaka. Karena keberadaan yang diulangi terus-menerus itu sukar disebut sebagai “bermakna”.[44]
Kedua, terkait dengan ungkapan “gott ist tot” sebagai dasar untuk memanusiakan kembali manusia, Henry De Lubac pada Tahun 1945, menulis buku berjudul “Das Drama de Atheistischen Humanismus” (Drama Humanisme Ateis). De Lubac mengecam perrnyataan Nietzsche tentang ”Tuhan Sudah Mati”, menurutnya pernyataan itu adalah sebuah kategori humanisme, yang menghancurkan diri manusia sendiri, serta merupakan sebuah rumusan ateistik yang menebas derajat dan nilai manusia sampai ke akar-akarnya.[45]
Itulah beberapa kritik yang ditujukan pada pemikiran Nietzsche, yakni pada paham humanismenya. Terlepas dari tepat atau tidak kritik itu, namun bagaimanapun juga usaha Nietzsche perlu dihargai dengan penghargaan yang setinggi-tingginya, demi mengangkat nilai-nilai humanitas.  

F.     Penutup
 Akhirnya, penderitaan adalah sebuah bayaran bila manusia berusaha memurnikan gambaran dirinya, termasuk Tuhannya. Dengan mewartakan ”gott ist tott”, demi memanusiakan manusia dengan ajaran Übermensch. Begitulah lukisan tragis nasib Nietzsche, selama hidupnya bergulat, akhirnya ambruk sendiri dengan sakit jiwa. Sungguh pengorbanan yang luar biasa! Namun pengorbanannya tidak sia-sia, karena ”palu” pemikirannya telah menghancurkan kebuntuan zaman, dan memberikan pencerahan bagi generasi sesudahnya. Akhirnya, terlepas dari pelbagai kontroversi Nietzsche, penulis tutup tulisan ini dengan pernyataan sang filsuf, yakni: ”tidak ada  fakta, yang ada hanya tafsir...”


Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. 2002.  Kamus Filsafat. Gramedia, Jakarta.
Bowie, dkk., 1988. Twenty Questions: An Introduction to Philosophy. Harcourt Bruce Jovanovich, San Diego.
Hadi, P. Hardono. 1996, Jatidiri Manusia, Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Kanisius, Yogyakarta. 
Huizinga, Johan. 1990.  Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya. LP3ES, Jakarta.
Kaufmann, Walter. 1969. The Portable Nietzsche, The Viking Press, New York.
Leahy, Louis. 1989.  Manusia, Sebuah Misteri,Sintesa Filosofis tentang Makhluk Praradoksal. Gramedia, Jakarta.
Leahy, Louis. 1985. Aliran-aliran Besar Ateisme. Kanisius, Yogyakarta.
Lingis, Alphonso “The Will To Power”, dalam Nietzsche and the Revaluation of Values, edited by Stan van Hooft, Deakin University.
Nietzsche, 1966. Thus Spoke Zarathustra. The Viking Press, New York.
Nietzsche, Friedrich. 1968. The Will to Power , a new Translation by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale. Vintage Books, New York.
Nietzsche, 1974. The Gay Science, Vintage Books, New York
Nietzsche, Man, All too Human, Compiled from translations by Helen Zimmern, R. J. Hollingdale, and Marion Faber.
Sautet, Marc, 2001. Nietzsche untuk Pemula. Kanisius, Yogyakarta.
Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis  Nomor 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta.
Sindhunata, “Nietzsche, Sang Pembunuh Tuhan”,  dalam Basis  11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta.
Sunardi, St. 1999. Nietzsche. LKiS,Yogyakarta.
Titus dkk., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, terjem. oleh H. M. Rasjidi. Bulan Bintang, Jakarta.
Weij, P. A. Van der. 1991. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terjem. oleh K. Bertens. Gramedia, Jakarta. 




[1] Johan Huizinga, Homo Ludens, Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. vii.
[2] Louis Leahy, Manusia, Sebuah Misteri,Sintesa Filosofis tentang Makhluk Praradoksal, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 2.
[3] “Identitas personal merupakan inti persoalan yang ingin dijawab oleh para filsuf terkait dengan hakikat manusia. Ada tiga kategori pandangan filsuf tentang identitas personal manusia, pertama, mereka yang menjelaskan identitas personal sebagai terma yang bersifat mental. Identitas kita sepanjang waktu ditentukan oleh fungsi pemikiran, keyakinan, dan perasaan—sering disebut sebagai “kepribadian” dan “karakter” kita. Kedua, ialah mereka yang berpendapat bahwa identitas personal terkait erat dengan kesinambungan jasmaniah kita. Meskipun badan yang anda miliki sekarang lebih besar dari pada saat anda berumur dua tahun, kesinambungan “ruang-temporal”nya memberikan dasar bagi identitas anda sepanjang waktu. Terakhir, beberapa filsuf berrpendapat bahwa identitas personal hanya merupakan ilusi…” lihat Bowie, dkk., Twenty Questions: An Introduction to Philosophy, (San Diego: Harcourt Bruce Jovanovich, 1988), hlm. 327.
[4] Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia, Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 13-14.  
[5] Saat penulis menyelesaikan makalah ini, yakni pada tanggal 26 Desamber 2007, penulis melihat tayangan berita di televisi, tentang banjir di berbagai daerah di Indonesia, akibat curah hujan yang berlebihan, bahkan di beberapa daerah terjadi bencana longsor yang merenggut sekitar 60 orang. Bencana longsor yang paling banyak membawa korban ialah yang menimpa warga Karang Anyar sampai mencapai 37 orang.
[6] Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terjem. oleh H. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 46.
[7] “ultim” diturunkan dari kata latin ultimus  yang berarti “terakhir”, kata tersebut menunjuk pada waktu…, lihat Dr. P. A. van der weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terjem. oleh K. Bertens, (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 5-7.  
[8] Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis  Nomor 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 3.
[10] St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 3, lihat  juga  Marc Sautet, Nietzsche untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 6-7, juga  Nietzsche, dalam http://www.edinformatics.com/great_thinkers/nietzsche.html, juga Nietzsche, dalam http://www.rightsphilosophyforum.org/Nietzsche.html.

[11] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 3-5.
[12] Ibid., hlm. 6-9.
[13] Ibid. , hlm. 10-11.
[14] Ibid. , hlm. 12.
[15] Ajaran ini menyankal keabsahan alternatif positif mana pun. Istilah ini sudah diterapakan pada metafisika, epistemologi, etika, politik,  dan teologi. Istilah ini diciptakan pertama kali oleh Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children (1862) untuk menunjuk suatu gerakan di Rusia pada paruh kedua abad ke-19. gerakan ini menuntut perubahan secara terencana dan yang, pada puncaknya, membantai sejumlah pejabat Rusia, termasuk Tsar Alexander II sendiri. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 712.
[16] “what I relate is the history of the next two centuries. I describe what coming, what can no longer come differently: the advent of nihilism…lihat  Friedrich Nietzsche, The Will to Power , a new Translation by Walter Kaufmann and R.J. Hollingdale, (New York: Vintage Books, 1968), aphorisma 3.
[17] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 22. lihat juga Sindhunata, “Nietzsche, Sang Pembunuh Tuhan”,  dalam Basis  11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 9-10.
[18] Nietzsche, The Gay Science,  (New York: Vintage Books, 1974.), aphorism 125; bisa dilihat juga pada Walter Kaufmann, The Portable Nietzsche, (New York: The Viking Press, 1969), p. 95.
[19] Seorang profesor yang ditugasi oleh pemerintah Nazi untuk menafsirkan pemikiran-pemikiran Nietzsche.
[20] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 38.
[21] “If the innermost essence of  beings is will of power, if pleasure is every increase of power, displeasure every feeling of not being able to resist or dominate; may we not then posit pleasure as cardinal fact”…lihat  Freidrich Nietzsche, The Will Power to Power..., hlm. 693.
[22] St. Sunardi, Nietsche..., hlm.23, lihat juga Alphonso Lingis, “The Will To Power”, dalam Nietzsche and the Revaluation of Values, edited by Stan van Hooft, (Deakin University), hlm. 188-196.

[23] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 46.
[24] Ibid. hlm. 91-93.
[25] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, (New York: The Viking Press, 1966), bagian 1, aphorisma 3.
[26] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 94-95.
[27] Freidrich Nietzsche, The Will Power to Power..., hlm. 1066.
[28] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 112-113.
[29] Pandangan Nietzsche ini merupakan buah keniscayaan logis akan penolakannya terhadap penciptaan dan metafisika. Karenanya kembalinya segala sesuatu  merupakan konsepsi dunia yang siklis. Dan kalau ditelaah lebih lanjut, pandangan ini pernah dikemukakan oleh filsuf Yunani jauh sebelum Socrates. Dalam hal ini Porphyrus dalam kehidupan Pytha goras mengatakan: “menurut siklus-siklus periodik , maka apa yang terjadi akan terjadi lagi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang baru sama sekali.” Lihat Louis Leahy SJ, Aliran-aliran Besar Ateisme, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 19.
[30] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 116.
[31] Nietzsche, Man, All too Human, Compiled from translations by Helen Zimmern, R. J. Hollingdale, and Marion Faber.  s. 2.
[32] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra.., bagian 5, aphorisma 2.
[33] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 96-97.
[34] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 1, aphorisma 3.
[35] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 99.
[36] Ibid., hlm. 100.
[37] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 4.
[38] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. hlm. 101.
[39] Ibid.,  hlm. 102.
[40] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 5.
[41] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra…, bagian 5, aphorima 4
[42] St. Sunardi, Nietsche..., hlm. 104.
[43] lihat  Freidrich Nietzsche, The Will Power to Power..., hlm. 1027.
[44]  lihat Dr. P. A. van der weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia…, hlm. 131-132.
[45] Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis  Nomor 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 3. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar