Kamis, 27 Juni 2013

KOSMOLOGI STEPHEN HAWKING: ASAL MULA ALAM SEMESTA


A.      Pengantar
  1. Latar Belakang Masalah
Kosmologi atau yang juga dikenal dengan philosophy of nature (filsafat alam semesta), secara etimologis berasal dari akar kata bahasa Yunani, yakni kosmos yang berarti “susunan atau keteraturan”; dan logos  yang berarti “telaah atau studi” (Siswanto, 2005: 1). Sedangkan secara terminologis, Runes mendefinisikannya sebagai a branch of philosophy  which treats of the origin and the structure of the universe (Runes, 1971: 60). Yakni cabang filsafat yang membicarakan asal-usul dan struktur alam semesta.
Louis Kattsoff mempergunakan istilah kosmologi dalam dalam dua pengertian, yaitu: pertama, penyelidikan filsafat mengenai istilah-istilah pokok yang terdapat dalam fisika, ruang, waktu, dan lain sebagainya. Kedua, praaggapan-praanggapan yang terdapat dalam fisika sebagai ilmu tentang jagat raya. Dan untuk membedakannya dengan ontologi, bidang ini disebut juga dengan ’filsafat fisika’  atau ’filsafat ilmu-ilmu alam’ (Kattsoff, 2004: 231-232).  
A. F. Taylor dalam elements of metaphysic  (1924: 3-30), memerikan problem-problem kosmologi dalam beberapa aspek, yakni: ruang (space), waktu (time), gerak (motion),  jarak bintang (magnitude), gaya (force), materi (matter), perubahan (change), interaksi (interaction),  bilangan (number), kualitas (quality), dan kausalitas (causality).
Jadi, dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan istilah kosmologi secara umum memiliki pengertian sebagai berikut, yakni: pertama, ilmu tentang alam semesta sebagai sistem yang rasional dan teratur. Kedua, merupakan cabang ilmu pengetahuan, khususnya bidang astronomi yang berupaya membuat hipotesis mengenai asal, struktur, ciri khas, dan perkembangan alam fisik berdasarkan pengamatan dan metodologi ilmiah. Ketiga, ilmu yang memandang bahwa alam semesta sebagai keseluruhan yang integral; dan bagian dari alam semesta itu berdasarkan pengamatan astronomi, merupakan suatu bagian dari keseluruhan tersebut. Keempat, secara tradisional kosmologi diposisikan sebagai cabang metafisika yang menelaah mengenai asal dan susunan alam semesta, penciptaan dan kekekalannya, vitalisme dan mekanisme, kodrat hukum, ruang, waktu, serta kausalitas. Analisis kosmologi mencoba mencari apa yang berlaku bagi dunia ini, dan ontologi berusaha mencari relasi-relasi dan diferensiasi-diferensiasi yang mungkin berlaku dalam dunia (Bagus, 2002: 499).
Disiplin keilmuan kosmologi telah mengalami perkembangan pesat, seiring dengan perjalanan sejarah sebagaimana cabang keilmuan lain. Berawal dari tradisi pemikiran Yunani kuno, dipelopori oleh filsuf-filsuf alam, sampai kekinian kita, telah lahir pelbagai corak pemikiran kosmologi yang beragam sesuai dengan titik-pijak, orientasi,  dan perspektifnya. Ditelaah dari  watak dan karakternya, pemikiran kosmologi dapat diklasifikasi dalam enam mainstream (arus besar) pemikiran yakni; spekulatif, ilmiah, kritik, matematis, baru (pasca-Einstein), dan sintesis.
Pertama, kosmologi spekulatif. Pemikiran kosmologi jenis ini dibangun atas dasar kerangka epistemologi yang menitikberatkan pada kemampuan kontemplasi yang bersifat spekulatif. Meskipun begitu, pada tahap pemikiran ini sudah dilakukan pengamatan langsung atau observasi dalam pengertian yang paling sederhana. Misalnya pandangan Demokritos yang menegaskan bahwa arkhe alam semesta ialah atom dan ruang kosong; ini jelas merupakan hasil olah nalar spekulatif murni. Sejarah menuturkan bahwa waktu itu belum ditemukan alat apa pun yang memungkinkan seseorang dapat mengetahui keberadaan atom dan ruang kosong.
Kedua, kosmologi ilmiah. kosmologi model ini bekerja dengan alat dan kerangka atau desain metode yang kerja dan produknya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Ketiga, kosmologi kritik. Model kosmologi yang lahir sebagai jawaban atas keberatan-keberatan terhadap kosmologi  spekulatif. Tokoh yang dikategorikan sebagai pemikir kosmologi kritik ialah Emmanuel Kant, karena ia memiliki ciri yang unik dan berbeda dengan model pemikiran kosmologi lain. Ia berusaha mengatasi kelemahan-kelemahan kosmologi spekulatif dengan metode kritisisme.
Keempat, kosmologi matematis. Merupakan pemikiran kosmologi yang fondasinya dirancang berdasarkan asumsi epistemologis ilmu-ilmu kealaman seperti astronomi, fisika, dan matematika.
Kelima, kosmologi baru (pasca Einstein). Mayoritas ilmuwan mengatakan bahwa sesudah Albert Einstein mewariskan prinsip-prinsip kosmologi matematis, terjadi debat metodologis yang luar bisa. Dari debat tersebut justru kosmologi dianggap sebagai ilmu baru yang memberikan sumbangan cukup signifikan kepada perkembangan ilmu dewasa ini.
Keenam, kosmologi sintesis. Model kosmologi yang mencoba membuat sintesis-sintesis baru atas dasar hasil penemuan ilmu-ilmu kealaman dengan mempertimbangkan keterangan-keterangan filsafat (Siswanto, 2005: 12-13).
Perjalanan sejarah pemikiran kosmologi mengalami dinamisasi menuju kesempurnaan pengetahuan manusia tentang jagat raya. Proses dinamis ini, sesuai dengan epistemologi problem solving  Karl Popper dengan metode falsifikasi, bahwa sifat kemungkinan salah dari ilmu mendorong manusia selalu belajar untuk maju (Taryadi, 1989: 32). Selaras dengan pandangan di atas, Stephen Hawking dalam bukunya A Brief History of Time  dan The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, ia berusaha memadukan pelbagai teori tentang jagat raya untuk menemukan sebuah teori kosmologi yang paripurna. Dalam kerangka dan problem inilah, penulis melakukan studi pemikiran kosmologi Stephen Hawking. 

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang (background) di atas, dapat dirumuskan pokok masalah dalam penulisan makalah ini, yakni:
a.          Bagaimana pandangan kosmologi Stephen Hawking?
b.         Bagaimana respons masyarakat terhadap pandangan Stephen Hawking tersebut?

  1. Keaslian Penelitian
Dalam telaah penulis, penelitian dalam bidang kosmologi khususnya pandangan Stephen Hawking tentang jagat raya dalam bentuk skripsi dan tesis belum banyak dilakukan. Sementara penelitian-penelitian dalam bidang kosmologi Timur sudah pernah dilakukan. Diantaranya ialah yang dilakukan oleh Wisnu Minsarwati (2000), yang melakukan penelitian dengan judul ”Makna Kosmologis dalam Mitos Letusan Gunung Merapi. Selain itu masih banyak penelitian yang mengangkat tema kosmologi menurut Taoisme, Islam dan lain sebagainya.
Sedangkan tentang kosmologi ilmiah atau matematis, ialah penelitian sarjuni (2003), yang berjudul ’konsepsi ruang dan waktu menurut Albert Einstein’, membahas mengenai ruang dan waktu dalam kerangka teori relativitas.
Bertolak dari hal di atas, penelitian pemikiran kosmologi Stephen Hawking mengenai jagat raya belum pernah dilakukan. Sehingga secara ilmiah, makalah yang penulis susun ini dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya dan keabsahannya. Adapun rujukan dan referensi  primer  makalah ini didasarkan atas tulisan Stephen Hawking pada tahun 1988 yang berjudul ’A Brief History of Time’  yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul ’Riwayat Sang Kala, dari Dentuman Besar hingga Lubang Hitam, diterbitkan oleh Pustaka Utama Garfiti Jakarta pada tahun 1994. Juga buku beliau The Theory of Everything, The Origin and Fate of the Universe, yang dialihbahasakan dengan judul ‘Teori Segala Sesuatu, Asal Usul dan Kepunahan Alam Semesta, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta pada tahun 2004.

  1. Tujuan Penelitian
Makalah ini memiliki beberapa tujuan yakni;
a.          menggambarkan dan menganalisis perspektif kosmologi Stephen Hawking.
b.         mendeskripsikan dan menganalisis respon masyarakat terhadap pandangan Stephen Hawking tersebut.   

B.      Sejarah Pemikiran Kosmologi
Empat ribu tahun sebelum masehi, bangsa Babilon terkenal memiliki keahlian dalam ilmu astronomi  yang membantu mereka memprediksi gerakan-gerakan yang tampak mengenai bulan, bintang-bintang, dan planet-planet, serta matahari. Bahkan mereka bisa memprediksi terjadinya gerhana. Namun, sejarah mencatat bangsa Yunani kunolah yang pertama kali bisa membuat model kosmologi untuk menafsirkan gerakan-gerakan tersebut. Pada abad ke-4 SM, mereka memperkenalkan ide bahwa bintang-bintang itu berada pada suatu permukaan bola yang berotasi di seputar Bumi setiap 24 jam. Sementara itu planet-planet, matahari, dan bulan bergerak di dalam ’eter’ di antara Bumi dan bintang-bintang.
Aristoteles pada tahun 340 SM, dalam bukunya Mengenai Langit, mampu mengemukakan dengan baik dua argumen yang meyakinkan orang bahwa Bumi berbentuk sebuah bola bulat, bukannya piring datar. Pertama, ia menyadari bahwa gerhana Bulan disebabkan oleh Bumi yang berada antara bulan dan matahari. Kedua, dari perjalanan yang dilakukan orang Yunani, mereka tahu bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada lebih selatan (karena terletak di atas kutub Utara, Bintang Utara itu berada tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horiszon bila ia berada di Katulistiwa). Bahkan orang Yunani memiliki argumen ketiga, bahwa Bumi pastilah bulat. Kalau tidak, mengapa orang melihat terlebih dahulu layar kapal menyembul di cakrawala, baru kemudian lambungnya?(Hawking, 1994: 2).
Model ini berkembang lebih jauh di abad-abad berikutnya, yang berpuncak pada sistem Ptolemeus di abad ke-2 M. Gerakan yang sempurna haruslah membentuk lingkaran-lingkaran. Oleh karena itu, bintang-bintang dan planet-planet, yang merupakan benda ruang angkasa, mestilah bergerak melingkar. Namun, untuk menegaskan gerakan yang rumit dari planet-planet, diperkenalkanlah ide tentang  epicycle, yakni lingkaran pada lingkaran. Model ini kemudian dipungut oleh Gereja Kristen, karena model ini menyisakan ruang di luar bola bintang-bintang tempat untuk surga dan neraka.
Nicholas Copernicus, seorang imam Polandia pada abad ke-16 M, mengembangkan sebuah model pemikiran yang beranggapan bahwa Bumi dan planet-planetlah yang bergerak melingkar  mengitari Matahari, tetapi data pengamatan pada saat itu memihak pada sistem Ptolemeus. Penolakan terhadap pandangan Copernicus itu bukan tanpa alasan. Tycho Bhrahe seorang astronom terkemuka pada abad ke-16 M, menyadari bahwa Bumi mengitari Matahari, maka posisi bintang-bintang haruslah berbeda kalau diukur dari posisi yang berbeda-beda dari orbit bumi. Tetapi tanda-tanda pergesaran posisi itu, yang disebut paralaks, tidak terlihat pada kala itu. Jadi, hanya ada dua probabilitas: Bumi dalam keadaan diam, atau bintang-bintang berada pada jarak yang amat jauh sehingga paralaks  tidak terindera.
Kala teleskop ditemukan pada abad ke-17 M, dengan bantuan alat ini ide Ptolemeus runtuh. Lewat perantara alat penglihatan jarak-jauh tersebut Galileo menemukan bulan-bulan yang bergerak mengitari Jupiter. Lantas, muncul pertanyaan, jika bulan-bulan bisa mengitari planet, mengapa planet-planet tidak bisa mengitari Matahari?
Pada saat yang sama Kepler, yang merupakan asisten Tycho Brahe, menemukan ide kunci untuk membangun  model heliosentris: bahwa planet-planet bergerak mengitari Matahari pada lintasan elips, bukan lingkaran sempurna. Kelak Newton menjelaskan bahwa gerakan eliptik bisa dipahami berdasarkan hukum grafvitasinya, yakni gaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak. Namun, kemiskinan data observasi tentang paralaks tersebut mewajibkan bahwa bintang-bintang berada pada jarak yang teramat jauh dari Matahari. Jagat raya menjadi seperti lautan yang sangat luas berisi bintang-bintang. Dengan bantuan teleskop, Galileo menemukan 7. 000  bintang baru yang tak terlihat secara kasat mata.
Di abad ke-19 M, seorang ahli astronomi dan matematika Bassel akhirnya mampu mengukur Jarak ke bintang-bintang paralaks. Bintang terdekat (selain Matahari) terukur pada jarak sekitar 25 juta mil (sebagai bandingan, matahari berjarak 93 juta mil dari Bumi). Mayoritas dari bintang yang mampu kita lihat termasuk dalam galaksi Bima Sakti—pita terang yang tersusun atas bintang-bintang yang merentang di langit pada malam hari. Kemudian pada 1920, seorang ahli astronomi Amerika, Hubble, menunjukkan bahwa selain Bima Sakti masih banyak galaksi-galaksi yang berukuran serupa. Hubble juga membuat penemuan yang mengagumkan bahwa galaksi-galaksi tersebut bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang sebanding dengan jaraknya terhadap kita. Hal ini bisa dimaklumi sebagai akibat alami dari teori relativitas umum yang ditemukan kemudian pada tahun 1915 oleh Einstein; bahwa alam semesta memuai. Benda-benda memiliki kecenderungan berkumpul dan menyatu sebagai akibat gaya (tarik-menarik) gravitasi sehingga mustahil alam semesta statis. Tetapi, Einstein memaklumi bahwa dia bisa menambahkan konstanta ke dalam rumusan matematikanya untuk menyeimbangi gaya tarik gravitasi. Jika ini benar, maka galaksi-galaksi akan tetap dalam keadaan terpisah. Setelah diketahui bahwa alam semesta itu memuai, Einstein menyatakan bahwa upayanya untuk menambahkan konstanta kosmologi merupakan kesalahan besar.
Seorang ahli matematika Rusia pada tahun 1917, yakni Friedmann menyadari bahwa persamaan matematika Einstein dapat menjelaskan pemuaian alam semesta. Rumusan ini berimbas bahwa jagat raya pernah lahir suatu saat, sekitar 10 ribu juta tahun yang lalu dan galaksi-galaksi masih bergerak menjauh dari kita sejak kala itu. Problemanya ialah, sesungguhnya alam semesta itu sendiri, diciptakan hanya pada sesaat saja. Ahli Astronomi Inggris fred Hoyle, menjuluki peristiwa penciptaan itu dengan ’Big Bang’ (Dentuman Besar).
Terdapat model pemikiran alam semesta tandingan diajukan oleh Bondi, Gold, dan Hoyle. Teori tersebut disebut ’Teori Keadaan Ajeq Steady’,  berusaha menjelaskan pemuaian jagat raya. Teori ini memerlukan penciptaan materi secara terus-menerus untuk mengasikan galaksi-galaksi baru ketika alam semesta memuai. Hal ini bisa memberikan jaminan bahwa alam bisa memuai, tetapi tetap tidak berubah terhadap waktu. Selama bertahun-tahun, persoalan apakah alam semesta kekal dan tidak berubah, atau hanya ada dalam kurun waktu yang terbatas hayalah dipandang sebagai isu akademis belaka. Tetapi, pukulan terhadap model keadaan lunak terjadi pada tahun 1965 ketikan Penzias dan Wilson menemukan radiasi kosmik bergelombang mikro.
Sejak tahun 1970, mayoritas ahli astronomi menerima ’Big Bang’ dan memulai pertanyaan-pertayaan khusus yang juga radikal. Bagaimana galaksi-galaksi dan kluster galaksi-galaksi yang terindera sekarang bisa terbentuk dari permuaian primordial? Terbuat dari apa sebagian materi di jagat raya ini? Bagaimana kita tahu bahwa tidak ada sejeneis materi gelap di luar sana yang tidak bersinar seperti bintang-bintang? Teori relativitas umum memberi tahu kita bahwa materi melengkungkan kurva ruang-waktu, lantas apa yang membentuk alam semesta?
Manusia baru mulai menemukan jawaban sebagian pertanyaan tersebut. Radiasi kosmik memainkan peran penting dalam memberikan gambaran tentang jagat raya sekitar seratus ribu tahun setelah ’Big Bang’. Pengamatan terhadap radiasi kosmik ini dilakukan lebih jauh oleh NASA. Pada tahun 1992, stelit NASA yang khusus dirancang untuk mendeteksi radiasi kosmik. Ternyata ada fluktuasi temperatur sebersar 1/100 ribu dalam radiasi ini. Ini memberi petunjuk tentang benih-benih ’sesuatu’ yang darinya galaksi tercipta. Sejak awal 1980-an terjadi lonjakan perhatian terhadap peristiwa fisika di awal kelahiran alam semesta. Tekhnologi baru dan percobaan satelit, seperti teleskop ruang angkasa Hubble, telah mengantarkan manusia pada gambaran dan sketsa alam semesta yang lebih komperhensif. Dan model baru pun berkembang dengan bertumpu pada ide-ide terakhir di bidang relativitas dan fisika partikel (Mizan & CIMM, 2000: 47-49).  
                          
C.     Pandangan Kosmologi Stephen Hawking: Mencari Sintesa antara Mekanika Kuantum dan Teori Relativitas Umum
Stephen Hawking lahir 8 Januari 1942 di Oxfort Inggris, dewasa ini menjadi Guru Besar Matematika di Universitas Cambridge University. Beliau mengindap penyakit neoron motorik atau amyotrophic lateral sclerosis (ALS), yang memaksanya bergerak dengan bantuan kursi roda (www. scienceworld.wolfram.com)
Menurut Hawking persoalan kosmologi merupakan sebuah persoalan yang berkaitan erat dengan hasrat manusia untuk memberi makna terhadap dunia yang tampak padanya; adapun persoalan sentralnya ialah, antara lain: apakah kodrat jagat raya? Di mana tempat kita di dalamya? Dari mana tempat itu dan dari mana kita berasal? Mengapa demikian?
Menjawab pertayaan di atas, manusia pra-ilmiah mengambil suatu ”gambar dunia”. Salah satunya, mengandaikan tumpukan kura-kura raksasa dan yang paling atas menggendong Bumi  yang datar dan mendatar. Yang kedua, teori adidawai (superstring). Bagi Hawking, kedua teori tersebut gagal menjadi teori keilmuan yang baik karena berbanding terbalik dengan pengalaman manusia.
 Hawking Mengakui bahwa keteraturan dan hukum yang jelas tentang alam semesta pertama-tama atas jasa astronomi. Dalam tiga millenium terakhir, telah banyak ditemukan teori, karenanya Laplace pada awal abad ke-19 mempostulatkan determinisme ilmiah; bahwa akan ditemukan seperangkat hukum yang menetapkan evolusi jagat raya dengan tepat jika konfigurasinya pada suatu waktu diketahui. Namun harapan tersebut, tidak dapat dilaksanakan. Asas ketidak pastian mekanika kuantum menyiratkan bawah pasangan kuantitas tertentu, seperti misalnya posisi dan kecepatan sebuah partikel, keduanya tidak bisa diramalkan dengan tepat besarnya sekaligus.
Mekanika Kuantum menjawab persoalan dengan sebuah teori bahwa partikel tidak mempunyai posisi dan kecepatan terumus dengan baik, melainkan dinyatakan oleh suatu gelombang. Teori kuantum bersifat deterministik dalam arti teori ini menghasilkan hukum untuk evolusi gelombang dengan bertambahnya waktu. Jadi jika seorang mengetahui gelombang itu pada satu waktu, ia akan dapat menghitung gelombang itu pada setiap waktunya. Unsur acak yang tidak teramalkan hanya muncul ketika kita mencoba menafsirkan gelombang itu dengan kecepatan partikel. Tetapi itu mungkin kesalah kita; mungkin tidak ada posisi dan kecepatan partikel, tetapi hanya gelombang. Hanya kita saja mencoba mencocokkan gelombang dengan dengan gagasan posisi dan kecepatan yang dibayangkan sebelumnya. Ketidaksepadanan yang dihasilkan itu merupakan sebab mengapa tampaknya gejala itu tidak dapat diramalkan.
Kenyataanya umat manusia telah merumuskan ulang tugas sains dalam menemukan teori-teori yang memungkinkan mereka meramalkan peristiwa sampai batas yang ditentukan oleh asas ketidakpastian. Namun menurut Hawking, tetap saja muncul pertanyaan, yaitu: bagaimana atau mengapa dipilih hukum-hukum dan keadaan awal jagat raya yang itu?
Stephen Hawking dalam A Brief History of Time,  menonjolkan hukum-hukum yang mengatur garavitasi, karena garvitasilah yang membentuk struktur skala besar jagat raya. Hukum Gravitasi tidak cocok dengan pandangan bahwa jagat raya tidak berubah dengan majunya waktu: karena gravitasi selalu bersifat tarik-menarik maka pastilah jagat raya itu memuai  atau mengerut. Dan baru akhir-akhir ini saja pandangan bahwa jagat raya statis dicampakkan dan ditinggalkan orang. Menurut teori relativitas umum, ruang dan waktu berawal pada singularitas ’Big Bang’ dan akan berakhir pada singularitas kerkahan besar (jika keseluruhan jagat raya runtuh kembali) atau pada singularitas di dalam lubang hitam. Setiap materi yang jatuh ke dalam lubang besar akan musnah dan hanya efek gravitasi massanya yang akan dirasakan oleh orang luar (Hawking, 1994: 184-85).
Teori relativitas umum dan mekanika kuantum  merupakan dua teori yang merupakan prestasi intelektual agung di paro pertama abad ke-20. teori relativitas umum  menjelaskan gaya gravitasi dan struktur skala besar jagat raya, yaitu struktur pada skala beberapa kilometer sampai jutaan kilometer (1 sampai 24 nol di belakangnya), ukuran jagat raya sejauh manusia dapat mengamati. Di pihak lain, mekanika kuantum  menjelaskan gejala pada skala yang luar biasa kecil, misalnya sepersejuta dari sepersejuta sentimeter. Namun sayang, kedua teori ini saling tidak konsisten—dan tidak mungkin keduanya benar. Dan orientasi buku ’A Brief History of Time, adalah sebuah pencarian sebuah teori baru yang merangkum kedua teori tersebut (Ibid: 13-14).   
Menurut asumsi Hawking, bila kita bisa mengabungkan mekaniaka kuantum  dan teori relativitas umum, akan ada suatu kemungkinan lain yang tidak pernah muncul sebelumnya: bahwa ruang dan waktu bersama-sama mungkin membentuk suatu ruang empat dimensi tanpa singularitas dan tanpa tapal batas. Gagasan ini dapat menjelaskan pelbagai wajah jagat raya yang ada dalam pengamatan. Dan jika jagat raya sama sekali mandiri, tanpa singularitas maupun tapal batas, dan terwujud suatu teori terpadu, maka akan mempunyai implikasi penting terhadap peranan Tuhan sebagai pencipta.
Einstein pernah melontarkan pertayaan: ”seberapa besar pilihan yang dimiliki Tuhan dalam rancang bangun jagat raya?” bagi Hawking jika pandangan tanpa tapal batas itu benar, maka Tuhan tidak memiliki kebebasan sama sekali dalam memilih kondisi (syarat) awal jagat raya. Tetapi tentu saja Dia mempunyai kebebasan untuk memilih hukum-hukum yang harus dipatuhi jagat raya.
Hawking berharap jika memang akhirnya manusia menemukan suatu teori yang lengkap, maka selayaknya dapat dipahami oleh khalayak ramai, tidak hanya dipahami oleh segelintir ilmuwan saja. Selanjutnya, umat manusia akan mampu mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagat raya ini ada. Jika manusia mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, itulah kemenangan puncak pikiran manusia—karena itu kemudian kita akan tahu pikiran Tuhan (Ibid: 185-186). 

D.     Respons terhadap Pemikiran Kosmologi Stephen Hawking dalam ‘A Brief History of Time’
Ada berbagai tanggapan terhadap pemikiran kosmologi Stephen Hawking  terlebih berkaitan dengan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Adapun respons tersebut sangat beragam dan saling bertolak belakang; ada yang memuji dan ada yang menghujat, ada yang mendukung serta ada yang menolak.
Di antara yang komunitas yang menolak dan mengkritik pandangan kosmologi Hawking dalam hubungannya Tuhan sebagai pencipta, misalnya ialah H. Mustamin Dg. Matutu, ia berpendapat bahwa argumen Hawking dalam  A Brief of History of Time, yakni bahwa waktu itu sebelum hadirnya kosmos tidak ada atau  : 0. Sang kala baru hadir  bersamaan dengan (proses) Kehadiran kosmos. Mustamin menambahkan bahwa logika Hawking tentang ‘Big Bang’  yang menjadi tonggak awal keberadaan alam semesta merupakan fiksi dan khayalan.  Faham serba tiada atau serba “0” tersebut meliputi pula ketiadaan hukum-hukum fisika atau hukum-hukum sains—seperti antara lain Vt = S atau S = Vt - yang berlaku (atau dalam istilah Stephen Hawking--"semua hukum-hukum fisika runtuh"tidak atau belum berlaku).
Mustamin menambahkan pendapat Hawking tersebut mengundang timbulnya pertanyaan antara lain:
1.               Eksistensi (benda) apa gerangan yang mempunyai massa jenis atau kerapatan massa yang tak terhingga (~) sehingga mampu meledak dengan dahsyat dalam bentuk "Big Bang" pada - 0 - waktu (t) dan - 0 - ruang (S)?
2.               Di bawah hukum apakah proses ’Big Bang’ itu terjadi kalau pada
kejadian itu belum ada atau belum berlaku hukum-hukum sains antara lain belum berlakunya hukum Vt = S atau S = Vt ?. Dan karena P (lambang kerapatan massa atau massa jenis) dalam fisika, kerapatan massa pun yang sama dengan M/V itu juga termasuk—tentulah menurut Stephen Hawking cs - belum berlaku pula. "Pada saat Big Bang", katanya "semua hukum-hukum sains runtuh". Apakah mungkin ada yang runtuh dari serba tiada atau serba ”0” (nol) ?. Jelas dari pernyataan demikian adanya kontradiksi , yakni adanya keruntuhan dari ketiadaan yang runtuh.
3.               Apakah pengertian kerapatan massa atau massa jenis/P itu tidak
termasuk pengertian hukum sains/hukum fisika?
4.               Apakah pengertian "panas" (suhu) betapapun tingginya atau rendahnya
tidak ada hubungannya dengan hukum-hukum sains?.
5.               Apakah "pemuaian" itu dapat bermul dari ”tiada/0” benda yang memuai?

Bagi Mustamin, nampaknya kelima pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, sudah cukup membuktikan betapa  bahwa alam semesta bermula dari serba ”0” atau serba tiada itu, hanyalah suatu khayalan besar (big fiction). Menurutnya paradigma Hawking berimbas pada tiadanya ”penciptaan”, yang berarti tidak ada ”pencipta”. Karenanya Hawking ditahbiskan sebagai seorang Ateis. (www.hamline.edu.)
Tidak adil kiranya jika penulis tidak ketengah pendapat yang mengamini dan memuji kontribusi pemikiran Hawking. Dr. "Fritz" Schaefer memandang buku A Brief History of Time  merupakan buku sejarah sains terlaris, terjual 10 ribu eksemplar. Kemudian berkaitan dengan kritik dan hujatan kepada Hawaking sebagai Ateis, Dr. Schaefer memandang kurang beralasan karena kalau tinjau secara lokus dan tempus, Hawking hidup dengan orang-rang yang religius, meski pun pada umur 13 tahun  memuja Bertrand Russell yang nota bene seorang filsuf ateis. Misalnya, Jane Hawking istri Stephen Hawking yang selalu menemani suaminya yang mengindap ALS, di tahun 1986 ia berkata: "Without my faith in God, I wouldn't have been able to live in this situation;"… "I would not have been able to marry Stephen in the first place because I wouldn't have had the optimism to carry me through and I wouldn't have been able to carry on with it." Dan Stephen Hawking berkata: "what really made a difference was that I got engaged to a woman named Jane Wilde. This gave me something to live for."
Dr. Schaefer menambahkan bahwa alas an buku tersebut laris terjual, karena menelaah persoalan makna dan tujuan yang menjadi concern  seluruh lapisan masyarakat. Juga, buku tersebut sejalan dengan iman Kristiani dan disajikan bahasa luwes, ramah, dan tidak tendensius. Buku tersebut, merupakan bacaan penting yang perlu dihargai (http://leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html).
Akhirnya, semua kembali pada kita yang melakukan penafsiran dan pembacaan terhadap pemikiran kosmologi Stephen Hawking dalam A Brief History of Time, karena bagaimanapun setiap penyimpulan kita tak pernah terlepas dari pandangan dunia (world view) positif atau pun negatif.  

E.       Penutup
Usaha Stephen Hawking untuk menemukan teori gabungan antara teori relativitas umum  dan mekanika  kuantum sebagai sebuah langkah mencari jawaban dan menyingkap misteri alam semesta, perlu dihargai dengan penuh ketulusan tanpa sikap prejudice. Kemudian, seputar kontroversi penafsiran terhadap pandangan Hawking, selayaknya diletakkan pada tataran discourse, demi menambah kearifan kita sebagai manusia yang gelisah mencari jawaban atas misteri jagat raya.    


Daftar Pustaka
Bagus,Lorens.  2002. Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta.

Biorgapi Stephen hawking, http://scienceworld.wolfram.com/biography/Hawking.html

Hawking, Stephen. 1994. Riwayat Sang Kala, Dari Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam, terjem. oleh. Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka, Pustkaka Grafiti, Jakarta.

Henry F.,Schaefer Stephen Hawking, The Big Bang, and God  dalam http://www.leaderu.com/real/ri9404/bigbang.html

Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat, terjem. oleh Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta.

”Lensernya Rezim Newton”, Majalah Seri Penerbitan Sains, Teknologi, dan Masyarakat, Bandung, Muharram 1421/April 2000.

Matutu, H. Mustamin Dg. Kosmologi Ala Stephen Hawking c.s. Mengandung Fiksi,Kontradiksi,danInkonsistensihttp://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/10/27/0032.html

Runes, Dagobert  D. (ed.), 1971. Dictionary of Philosophy, Littlefield Adam & CO, New Jersey.

Siswanto, Joko .Orientasi Kosmologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Taryadi, Alvons. 1989. Epitemologi Pemecahan Masalah, Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

1 komentar:

  1. Wynn Casino | The Junction Hub
    If you are booking with a new account on this page, 경상북도 출장마사지 you can sign up for a New Account 오산 출장마사지 on Wynn and make 세종특별자치 출장샵 a deposit. On this page, you 안성 출장마사지 can make 강릉 출장샵 a

    BalasHapus